Womanindonesia.co.id – Kanker ovarium atau Kanker indung telur merupakan penyebab kematian nomor delapan akibat kanker pada perempuan di seluruh dunia. Di Indonesia, kanker ovarium berada di peringkat tiga dari sisi insiden dan tingkat kematian.
Menurut data Global Cancer Incidence, Mortality and Prevalence (Globocan), kanker ovarium atau kanker indung telur adalah kanker ketiga tersering pada perempuan Indonesia, dengan angka kejadian di tahun 2020 adalah 14.896 kasus dan angka kematian mencapai 9.581 kasus.
Kanker jenis ini mengancam perempuan di seluruh dunia. Minimnya informasi dan pengetahuan masyarakat mengenai kanker ovarium, dibandingkan kanker payudara ataupun kanker serviks yang termasuk kanker pada perempuan, menjadi salah satu penghambat upaya deteksi dini dan pencegahan lebih awal.
Dokter Spesialis Onkologi – dr. Oni Khonsa, Sp.OG, Subsp. Onk menjelaskan ovarium merupakan sepasang organ pada sistem reproduksi perempuan yang salah satu fungsinya sebagai tempat pematangan sel telur. Ovarium terletak di pelvis-rongga bagian bawah perut.
Sel kanker, kata dr. Oni berbeda dengan sel normal pada beberapa hal yakni pertama, sel kanker berkembang secara tidak terkontrol, kedua sel kanker dapat tumbuh/menginvasi jaringan lain. Tidak jarang kanker indung telur menginvasi tuba fallopi dan rahim, yang ketiga adalah sel kanker dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui pembuluh darah atau pembulu linfatik.
Minimnya informasi dan pengetahuan masyarakat mengenai kanker ovarium, sangatlah mengkhawatirkan. “Ketidaktahuan terhadap faktor risiko dan deteksi dini menghalangi perempuan mendapatkan diagnosa dan penanganan yang tepat terhadap kanker ovarium,” kata dr. Oni pada peluncuran kampanye “10 Jari” oleh Cancer Information & Support Center bersama Shahnaz Haque dan didukung oleh AstraZeneca Sabtu (3/12).
Padahal, kata ia, jika dideteksi lebih awal, kanker ovarium dapat ditangani. Faktanya 20% dari kanker ovarium yang terdeteksi pada stadium awal, 94% nya akan dapat hidup lebih dari 5 tahun setelah didiagnosis.
Faktor Risiko dan Gejala Kanker Ovarium
Lebih lanjut dr Oni mengatakan, gejala kanker indung telur sering kali disalahartikan dengan gejala penyakit lain, sehingga sering luput dari perhatian dan baru ditemukan ketika telah mencapai stadium lanjut.
Bila timbul gejala klinis, umumnya merupakan akibat dari pertumbuhan, perkembangan, serta komplikasi yang sering timbul pada tingkat stadium lanjut. Saat keadaan sudah pada stadium yang lanjut, kanker akan sulit untuk disembuhkan.
Ada enam faktor risiko kanker ini yakni pertama memiliki riwayat kista endometrium, kedua memiliki riwayat keluarga dengan kanker ovarium dan/atau kanker payudara, ketiga mutasi genetik (misalnya BRCA), keempat paritas rendah, kelima gaya hidup yang buruk, dan yang keenam pertambahan usia.
Sedangkan empat tanda kanker indung telur yang bisa dikenali adalah kembung, nafsu makan berkurang, sering buang air kecil, dan nyeri panggul atau perut. Pada umumnya kanker ovarium tidak disertai gejala pada stasium awal.
“Oleh karena itu, jika memiliki salah satu dari enam faktor risiko dan salah satu dari empat gejala kanker ovarium, harus cepat konsultasi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan menyeluruh,” kata dr. Oni.
Lebih lanjut ia menjelaskan, operasi dan kemoterapi adalah penanganan yang umum dilakukan untuk kanker mematikan ini. Pada stadium awal, di mana penyakit ini masih terbatas di ovarium, penanganan dan pengobatan memiliki kemungkinan besar untuk berhasil. “Oleh karena itu, segera kenali dan sadari enam faktor risiko dan empat gejala kanker ovarium dalam diri,” kuncinya.
Upaya Penanganan Kanker Ovarium di Indonesia
Penyakit kankerindung telur berkontribusi pada peningkatan beban akibat penyakit tidak menular (PTM).
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan dr. Eva Susanti, S.Kp.,M.Kes memaparkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan prevalensi PTM mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013.
Adapun kenaikan antara lain pada kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus dan hipertensi. Kanker naik dari 1,4% (Riskesdas 2013) menjadi 1,8% (Riskesdas 2018). Di Indonesia, kanker yang menyerang perempuan ini berada di peringkat tiga dari sisi insiden dan tingkat kematian.
Menyikapi permasalahan kanker tersebut, maka pemerintah menerapkan strategi penanggulangan penyakit kanker dengan menggunakan strategi empat pilar, yaitu promosi kesehatan, perlindungan khusus, deteksi dini, dan penanganan kasus, termasuk layanan paliatif seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 71 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular.
“Upaya penanggulangan ini tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah namun membutuhkan kerjasama dari seluruh stakeholder terkait. Kami mengapresiasi Kampanye 10 Jari dari Astra Zeneca dan CISC ini yang merupakan bagian dari upaya promosi kesehatan dan berharap perempuan Indonesia memiliki pemahaman yang baik terhadap faktor risiko dan gejala serta deteksi dini kanker ovarium,” kata dr. Eva.
Kampanye 10 Jari
Cancer Information & Support Center bersama Shahnaz Haque dan didukung oleh AstraZeneca, kali ini bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan RI menggaungkan Kampanye 10 Jari untuk mengenal faktor risiko dan deteksi dini kanker indung telur.
Angka “10” yang tercantum dalam “Kampanye 10 Jari” merupakan salah satu cara untuk mengedukasi masyarakat tentang enam faktor risiko dan empat tanda kanker ovarium. Yang termasuk ke dalam enam faktor risiko tersebut adalah:
- memiliki riwayat kista endometrium;
- memiliki riwayat keluarga dengan kanker ovarium dan/atau kanker payudara;
- mutasi genetik (misalnya BRCA)
- paritas rendah
- gaya hidup yang buruk
- dan pertambahan usia.
Sedangkan empat tanda kanker indung telur adalah:
- kembung
- nafsu makan berkurang
- sering buang air kecil
- dan nyeri panggul atau perut. Pada umumnya kanker ovarium tidak disertai gejala pada stasium awal.
Pasien Kanker Ovarium, Liesdiana mengatakan, informasi merupakan hal penting dalam kanker mematikan ini. Perempuan Indonesia perlu mengetahui bahwa dengan deteksi dini, mengenali faktor risiko dan menyadari gejalanya, mereka memiliki peluang lebih baik untuk hidup berkualitas.
“Saya merasakan sendiri pentingnya mengetahui dan menyadari gejala serta segera berkonsultasi ke dokter untuk mendapatkan penanganan terhadap kanker ovarium. Itu yang membuat saya masih bisa bersama keluarga saat ini,” kata Liesdiana.
Meski sempat tidak menyadari dan menyalahartikan gejala diawal, ia bersyukur informasi yang jelas dari dokter membantunya melewati proses penanganan kanker ovarium.
“Saya berharap perempuan Indonesia dapat memiliki pemahaman terhadap kanker ovarium lebih dulu, apalagi kini dengan enam faktor risiko dan empat deteksi dini yang disampaikan dalam Kampanye 10 Jari dapat membantu perempuan lebih teredukasi,” ujarnya.
Senada dengan Liesdiana, Duta Peduli Kanker Ovarium, Shahnaz Haque, mengaku pernah menyalahartikan gejala dan faktor risiko kanker ovarium, dan itu tidak saya harapkan terjadi pada perempuan di Indonesia lagi. Ia berharap perempuan Indonesia lebih peduli pada kesehatan dirinya dan salah satunya dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya terkait kanker ovarium.
“Saya bersama dengan CISC sebagai komunitas kanker yang berpusat di Jakarta dan berdiri sejak tahun 2003, berkomitmen dalam memberikan dukungan serta layanan informasi pada masyarakat kanker dan awam menuju ‘Indonesia Peduli Kanker. Kampanye 10 Jari ini akan menjadi informasi yang penting dan mudah dipahami serta dapat disebarluaskan ke masyarakat Indonesia,” pungkas Shahnaz.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News