WomanIndonesia.co.id – Meski sudah berlangsung sejak akhir Februari 2020, sekolah di rumah ternyata tetap menjadi hal yang tidak mudah bagi anak maupun orang tua untuk dilakukan. Selain kegiatan belajar dan mengajar terasa tidak efektif, baik orang tua maupun anak rentan mengalami stres.
Efnie Indrianie, M.Psi, Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, menjelaskan bahwa anak tidak bisa langsung menyesuaikan diri dengan metode school from home (SFH) hanya dalam waktu 1-3 bulan saja.
“Anak kan butuh adaptasi juga. Adaptasi kadang bisa dibutuhkan selama 6 bulan lebih, bahkan 1 tahun. Makanya banyak riset tentang academic adjustment atau adaptasi di bidang akademik itu di tahun pertama. Jadi kalau masih 1-6 bulan, ya kondisi anak masih up and down,” ujar Efnie ketika diwawancarai oleh GueSehat.
Tidak Mendapatkan Stimulasi yang Maksimal
Pada tahapan balita, khususnya di usia 3 tahun, anak akan melalui fase pembentukan emotional competence dan bagian fungsi tengah otaknya sedang berkembang pesat. Artinya, ia akan mulai mengenal emosi diri sendiri, emosi orang lain, belajar membina relasi, serta mengenal aturan baru selain aturan yang ada di rumah.
Akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) selama pandemi, Efnie menjelaskan bahwa stimulasi-stimulasi ini tidak bisa didapatkan oleh anak ketika tinggal dan belajar di dalam rumah dalam waktu yang cukup panjang. Dampaknya, ini akan memengaruhi kompetensi anak dalam menjalin relasi interpersonal ketika ia kelak dewasa.
Stres Melanda Orang Tua dan Anak
Stres tentunya akan dialami oleh orang tua maupun anak selama proses adaptasi sekolah dari rumah. Sevty Rahmawati, salah seorang ibu rumah tangga yang diwawancarai oleh GueSehat, mengaku melihat perubahan sikap kepada putrinya yang masih berusia 5 tahun, Shaylaa Vieris Melodia.
“Melo jadi tidak tertib belajar, lebih banyak pegang gadget, dan emosi lebih tidak terkontrol karena merasa tidak ada aturan yang harus ia ikuti. Padahal, kita sebagai orang tua sudah berusaha menerapkan hal yang sama dengan yang sekolah lakukan. Di awal-awal, ia pun sama sekali tidak mau ikut kelas online melalui Zoom. Karena ia termasuk anak yang moody, kalau dipaksa malah akan menangis dan cranky,” jelasnya.
Belum lagi metode belajar yang diterapkan di sekolah Melodia adalah metode Montessori. Sevty sedikit kelabakan untuk mengajari buah hatinya sendirian di rumah karena gaya belajarnya berbeda dengan bagaimana ia belajar ketika masih kanak-kanak. Dan meski sudah mempelajarinya, ia kerap merasa kesulitan dan tidak optimal mengajarkan si Kecil.
Menurut Efnie, stres dan rasa frustasi yang dirasakan Sevty dan mungkin ibu lainnya memang wajar dialami. “Ketika anak belajar dari rumah, orang tua pasti berpikir tanggung jawabnya ada di orang tua untuk memastikan anaknya mengerjakan, memperhatikan, dan menerima informasi dengan baik. Nah, biasanya kondisi itu yang membuat orang tua menjadi lebih stres,” paparnya.
Dan pada anak, stres sebenarnya masih bisa ditoleransi selama levelnya masih moderat atau medium. Namun, lain halnya jika stres yang dialami derajatnya tinggi sebab akan berdampak negatif. Sistem imun anak dapat menurun dan ia rentan sakit, seperti batuk pilek, perut tidak nyaman, mual, dan diare. Terkadang konsentrasi anak juga akan menurun, bermimpi buruk, lebih emosional dan rewel, serta gampang menangis.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Bagaimanapun juga, kita semua harus beradaptasi dengan kondisi baru ini. Untungnya, Efnie mengungkapkan bahwa anak masih bisa mengejar stimulasi yang tertinggal.
“Kita tidak boleh kehilangan momen. Anak harus dapat stimulasi dari orang lain selain keluarga inti, yang seharusnya ia dapatkan di sekolah. Kalau misalnya ada kerabat atau saudara yang masih tinggal satu kota dan dipastikan mereka sehat, tidak terinfeksi Covid-19, tidak ada salahnya diadakan pertemuan keluarga yang sifatnya internal. Jadi, anak bisa belajar membina relasi dengan orang selain keluarga inti yang ada di rumah,” ucapnya.
Selayaknya di sekolah, anak akan bertemu dengan sepupu-sepupunya. Dari situ, ia akan belajar bermain bersama, berbagi, dan lain-lain. Bisa pula disisipkan permainan kolektif, seperti permainan ular tangga atau bermain peran.
Terkait manajemen stres, langkah pertama yang harus dilakukan orang tua adalah mengenali kondisi emosi sendiri, apakah mereka merasa kesal, marah, kecewa, atau hal lainnya. Setelah mengidentifikasi emosi yang dirasakan, barulah orang tua dapat meregulasi emosi dengan tepat. Cara merilisnya pun bisa melalui berbagai hal, contohnya berdoa, menangis, menulis jurnal, bila perlu berkonsultasi dengan ahlinya.
Sevty berbagi tips meredakan emosi dan stres versi dirinya. Ketika menghadapi Melo yang sedang tantrum atau tidak mau belajar, ia akan menjauh dari sang Anak untuk sementara waktu dan melakukan hal-hal kecil yang disukai. “Biasanya, aku akan buka gadget sekadar melihat informasi yang bisa aku terapkan untuk mengambil hati anak, minum kopi, atau makan cake. Ini simpel, tetapi penting buat aku,” ungkapnya.
Selain itu, orang tua juga bisa meminta bantuan dari pihak sekolah. Sevty mengaku sempat berkonsultasi dengan guru dan meminta mereka mengirimkan voice note atau melakukan video call dengan buah hatinya. Mengobrol dengan guru ternyata efektif meningkatkan semangat Melo untuk mengikuti kelas online.
Untuk ibu bekerja, mengerjakan tugas kantor dari rumah sekaligus mengasuh anak akan menjadi tantangan tersendiri. Efnie menyebutkan, ibu bekerja harus memiliki manajemen waktu yang baik. Jadi, buatlah jadwal harian dan masukkan waktu me time. Dengan begitu, kondisi mental tetap stabil dan tercipta suasana yang penuh cinta kasih di rumah.
Lalu bagaimana menanggulangi stres pada anak? Efnie menyebutkan metode yang sama bisa diterapkan kepada anak, yakni mengidentifikasi emosi atau perasaannya terlebih dahulu.
“Kalau anak stresnya tinggi, bantu ia untuk meredakan kondisi perasaaannya dulu. Anak yang stres tidak mempan dikasih nasihat. Ciri khas seorang anak kalau stres tinggi adalah akan melakukan hal yang berkebalikan. Disuruh fokus, dia malah melakukan hal lain, disuruh menulis tidak bisa, kadang-kadang disuruh bicara malah menjadi gagap,” terang Efnie.
Jika anak menunjukkan tanda-tanda tersebut, orang tua jangan memarahi anak dan sebaiknya memberinya waktu. Jauhi anak sebentar, atur napas, kendalikan emosi, dan duduk untuk menenangkan diri.
Setelah kondisi sudah lebih tenang, peluk anak dan bantu ia mengungkapkan perasaanya. Orang tua bisa menanyakan, “Adik rasanya bagaimana? Adik takut, sedih, atau marah?” Sebutkan emosi satu per satu untuk membantunya mengidentifikasi perasaannya.
Setelah itu, bantu anak merilis perasaannya. Tanyakan apa yang ia inginkan. Kalau ia ingin menangis, biarkan. Jadi, anak merasa aman dan nyaman. “Love dan affection adalah obat stres untuk anak-anak. Jadi, ia tidak merasa sendiri, merasa didampingi, dan bisa mengekspresikan perasaannya semaksimal mungkin.”
Dengan segala keterbatasan yang ada di masa pandemi ini, orang tua memang harus bekerja sama dengan berbagai pihak agar kegiatan belajar anak tetap berjalan. Yang pasti, orang tua harus menanamkan mindset untuk tidak langsung menghakimi diri sendiri sebagai orang tua yang gagal jika anak susah diajak belajar. Ingatlah bahwa anak butuh waktu dan proses untuk bisa beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News