Womanindonesia.co.id – Stunting atau perawakan pendek adalah gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Anak-anak didefinisikan sebagai stunting jika tinggi badan menurut usia mereka lebih dari dua standar deviasi di bawah median Standar Pertumbuhan Anak WHO.
Stunting pada awal kehidupan terutama pada 1000 hari pertama sejak pembuahan sampai usia 2 tahun gangguan pertumbuhan memiliki konsekuensi fungsional yang merugikan pada anak.
Beberapa dari konsekuensi tersebut termasuk kognisi dan kinerja pendidikan yang buruk, upah orang dewasa yang rendah, kehilangan produktivitas dan, bila disertai dengan penambahan berat badan yang berlebihan di masa kanak-kanak, peningkatan risiko penyakit kronis terkait gizi di masa dewasa.
Pertumbuhan linier pada anak usia dini merupakan penanda kuat pertumbuhan yang sehat mengingat hubungannya dengan risiko morbiditas dan mortalitas, penyakit tidak menular di kemudian hari, dan kapasitas belajar dan produktivitas.
Hal ini juga terkait erat dengan perkembangan anak dalam beberapa domain termasuk kapasitas kognitif, bahasa dan sensorik-motorik.
Lantas, Apakah stunting berpengaruh terhadap kecerdasan anak?
Melansir dari kompas.com, perlu diketahui, perawakan pendek atau tubuh kerdil umumnya terjadi pada masa 1.000 hari pertama kehidupan (HPK), yakni mulai dari masa anak dalam kandungan hingga berusia dua tahun. Kekurangan gizi dalam jangka waktu lama inilah yang akhirnya mengganggu kecerdasan penderitanya.
Seperti Generasi bersih dan sehat (Genbest) ketahui, anak yang sedang berada pada masa emas pertumbuhan memiliki otak yang dapat berkembang pesat.
Berbeda dengan anak yang kerdil. Mereka mengalami kekurangan gizi pada masa ini dan membuat asupan energi yang dibutuhkan untuk perkembangan otak tidak cukup sehingga berpengaruh pada kecerdasan penderitanya.
Menurut penelitian Dr dr Damayanti Rusli Sjarif, SpAK, anak yang mengalami gizi buruk di bawah usia satu tahun, 25 persen dari mereka berisiko memiliki tingkat kecerdasan di bawah 70, dan 40 persen lainnya berisiko memiliki IQ antara 71-90.
Dengan tingkat IQ tersebut, kemampuan akademis anak akan terganggu. Ketidakmampuan pada otak ini, lanjur dr Damayanti, disebabkan pola makan yang salah, yakni tidak mengandung lemak, karbohidrat dan protein hewani.
Berdasarkan data World Bank Group (2018), 30% anak usia dibawah lima tahun di negara berkembang terdiagnosis stunting, artinya tinggi menurut umur rendah karena malnutrisi kronis berulang. Dalam segi akademik dan pendidikan, perawakan pendek mempengaruhi.
1. Keterlambatan dalam sekolah
Stunting yang terjadi selama masa kehamilan dan selama usia dua tahun berhubungan dengan keterlambatan anak dalam memasuki usia sekolah, meskipun beberapa usaha penanggulangan setelah usia dua tahun telah dilakukan. Anak stunting sangat sensitif terhadap penyakit dan infeksi, sehingga sering tidak masuk sekolah dan tertinggal pelajaran.
2. Rendahnya performa akademik
Stunting berhubungan dengan rendahnya perkembangan kognitif anak, sehingga mempengaruhi kemampuannya dalam menerima pelajaran dari segi kemapuan literasi. Kemampuan matematika anak stunting 7% menurun daripada anak normal, 12% kemampuan menulis kalimat sederhana baru dapat dilakukan di usia 8 tahun.
Anak stunting dengan kerusakan performa belajar mengalami kesulitan menyelesaikan pendidikannya. Hal ini menyebabkan penurunan pendapatan individu dan potensi produktivitas nasional.
3. Masalah perilaku
Kekurangan nutrisi mempengaruhi perilaku anak-anak SD. Ketika anak tidak sarapan, maka mempengaruhi perilaku dan performa akademis. Anak-anak yang kelaparan memiliki kesulitan dalam hal belajar.
Kerja otak menjadi dasar semua perilaku manusia, dari kerja sederhana seperti berjalan atau makan hingga kerja kompleks sperti berpikir, berinteraksi dengan sesama atau menciptakan kerja. Perkembangan dan kematangan otak yang tepat dibutuhkan untuk memperoleh fungsi integrasi dan perilaku manusia.
Otak melakukan semua fungsi integrasi ini melalui sekitar 1 miliar sel yang saling berkomunikasi satu sama lain melalui interkoneksi khusus, disebut sinapsis. Plastisitas otak merupakan cara alami perlindungan otak terhadap pengaruh eksternal. Hal ini memungkinkan individu beradaptasi dengan perubahan lingkungan, dan sangat dipengaruhi oleh nutrisi.
Anak stunting memiliki kendala kesulitan pemusatan perhatian dan impulsif, kehilangan kemampuan beradaptasi terhadap kondisi stress, mengalami anxiety dan kehilangan motivasi serta kemapuan eksplorasinya. Kesemuanya memicu penurunan performa pendidikan, sosial dan perkembangan emosional.
Dari penjabaran diatas, penting bagi semua pihak terkait baik dokter, perawat, ahli gizi dan terutama orang tua mencegah kejadian stunting agar tercipta generasi muda yang brilian, cerdas dan semangat sehingga mampu memajukan bangsa dan negara.
Cegah Stunting agar Kecerdasan Anak Optimal
Kondisi stunting dan dampaknya sangat sulit untuk dapat diubah. Karena itulah pencegahan stunting begitu penting, salah satunya dengan meningkatkan status gizi calon ibu sejak masih remaja dengan menjaga pola hidup sehat dan makan makanan bergizi seimbang serta minum tablet tambah darah secara rutin karena mayoritas remaja putri kekurangan zat besi.
Selanjutnya, untuk mencegah anak berperawakan pendek, ibu juga perlu memahami edukasi perkembangan kesehatan anak dengan baik, termasuk perihal pemenuhan gizi saat hamil, pemberian ASI eksklusif, MPASI bergizi, hingga pemberian hak anak untuk mendapatkan kekebalan melalui imunisasi, dan sebagainya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News