Womanindonesia.co.id – Sekolah-sekolah sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, terdapat beberapa sekolah-sekolah elit pada masa tersebut. Sekitar abad ke-16, Belanda masuk ke Indonesia dan mulai mendirikan sekolah di sana.
Memasuki tahun 1627, Belanda memperluas pendidikannya di Pulau Jawa dengan mendirikan beberapa sekolah di Jakarta. Memasuki abad ke-19, Belanda telah mendirikan sejumlah 20 sekolah untuk Indonesia.
Tujuan Belanda mendirikan sekolah di Indonesia adalah untuk memperoleh tenaga kerja yang murah, membutuhkan tenaga kerja yang profesional, serta sebagai bentuk balas budi. Nah berikut ini beberapa sekolah elit di zaman penjajahan Belanda.
3 Sekolah Elit di Indonesia Pada Masa Penjajahan Belanda
1. ELS
Sekolah elit zaman penjajahan Belanda pertama adalah Europeesche Lagere School (bahasa Indonesia: Sekolah Dasar Eropa) atau disingkat ELS. ELS merupakan Sekolah Dasar zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia. ELS menggunakan Bahasa Belanda yang menjadi bahasa wajib dalam proses belajar mengajarnya.
ELS diperuntukkan untuk keturunan Eropa, keturunan timur asing atau pribumi dari tokoh terkemuka. ELS pertama didirikan pada tahun 1817 dengan masa sekolah 7 tahun.
Awalnya hanya terbuka bagi warga Belanda di Hindia Belanda, sejak tahun 1903 kesempatan belajar juga diberikan kepada orang-orang pribumi yang mampu (dari golongan tertentu) dan warga Tionghoa.
Setelah beberapa tahun, pemerintah Belanda beranggapan bahwa hal ini ternyata berdampak negatif pada tingkat pendidikan di sekolah-sekolah HIS dan HCS, sehingga ELS kembali dikhususkan bagi warga Belanda dan Eropa saja.
Semula, jika ada anak bangsawan pribumi, meski berkulit coklat dan tak sedikitpun punya darah Eropa atau Belanda, ia boleh bersekolah di Europesche Lager School (ELS). Dalam film Oeroeg (1995), terlihat perbedaan suasana sekolah HIS dan ELS. Satu dari sekian bocah pribumi beruntung yang sempat mencicipi bangku sekolah di ELS adalah Pahlawan Nasional Gatot Subroto.
Sekolah khusus bagi warga pribumi kemudian dibuka pada tahun 1907 (yang pada tahun 1914 berganti nama menjadi (Hollandsch-Inlandsche School (HIS)) dengan lama belajar 7 tahun, diperuntukan bagi keturunan Indonesia asli yang umumnya anak bangsawan, tokoh terkemuka, atau pegawai negeri.
Sementara sekolah bagi warga Tionghoa, Hollandsch-Chineesche School (HCS) dibuka pada tahun 1908 dengan lama belajar 7 tahun. HCS dan HIS tersebut digolongkan dalam Eerste Klasse School atau Sekolah kelas Satu yang diperuntukan bagi penduduk non Eropa.
Kesetaraan jenjang pendidikan sekolah rendah (sekarang Sekolah Dasar): ELS – HIS – HCS
2. MULO
Sekolah elit zaman penjajahan Belanda kedua adalah MULO (singkatan dari bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). MULO adalah Sekolah Menengah Pertama pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. ELS menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada masa sekarang ini, MULO setara dengan SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs berarti “Pendidikan Dasar Lebih Luas”. MULO menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada tahun 1903 dua kursus MULO dibuka, di Bandung dan Yogyakarta, masing-masing berkaitan dengan ELS. MULO di Bandung dimulai dengan 14 murid, di Yogyakarta hanya dengan 6 orang.
Kursus MULO dimaksudkan sebagai sekolah rendah. Dengan program yang diperluas dan bukan sebagai sekolah menengah. Sebagai guru diangkat mereka yang telah memiliki ijazah HA (Hoofdacte, kepala sekolah) atau diploma untuk meta pelajaran tertentu.
Guru-guru ini ditugaskan mengajarkan beberapa mat apelajaran dan bukan hanya satu mata pelajaran seperti di sekolah menengah.
MULO semula merupakan lanjutan dari ELS dan memberikan pelajaran terminal. Pendirian MULO disammbut gembira oleh kaum Indo-Belanda dan mereka yang tidak sanggup menyekolahkan anaknya ke HBS dan mempersiapkan mereka untuk bekerja di kantor.
Kursus MULO juga dipandang sebagai cara untuk mencegah banyaknya drop-out di HBS bbagi murd yang intelektual kurang mampu. Di duga bahwa sebagian besar murid di HBS sebenarnya tidak pada tempatnya.
Dari 147 murid yang memasuki HBS pada tahun 1907 hanya 24 orang mencapai kelas V. Namun ini tidak berarti bahwa MULO didirikan untuk murid-murid yang rendah bakat intelektualnya.
Segera tampak kelemahan MULO karena programnya terlampau luas sehingga timbul saran untuk memperpanjang menjadi 3 tahun.
Pada tahun 1910 setelah MULO menjadi 3 tahun dinyatakan bahwa ijazah MULO disamakan dengan keterangan naik kelas dari IV ke V di HBS, hal tersebut menimbulkan kritik yang tajam dari HBS, karena MULO dalam segala hal kurang dari HBS.
Keputusan itu segera dirubah dengan menyemakan ijazah MULO dengan keterangan naik kelas III ke IV HBS. Pada tahun 1914 kursus MULO diubah menjadi MULO dan Sekolah Kelas Satu menjadi HIS. Dengan beberapa perubahan maka diadakan hubungan antara HIS dengan MULO.
Bahasa Perancis yang sedianya diajarkan di Sekolah Kelas Satu dijadikan fakultatif (tidak diwajibkan) dan pelajaran bahasa Belanda diintensifkan. Walaupun demikian karena msaih kurang lancar hubungan antara HIS dengan MULO maka disarankan menambah kelas VIII pada HIS atau kelas persiapan pada MULO.
MULO merupakan sekolah pertama yang tidak mengikuti pola pendidikan di Belanda, namun tetap merupakan pendidikan yang berorientasi Barat dan tidak mencari penyesuaian dengan keadaan Indonesia.
Kalangan tertentu menginginkan agar MULO itu dikhususkan bagi anak-anak Belanda, akan teatpi yang diputuskan agar MULO adalah suatu pendidikan bagi semua bangsa.
3. STOVIA
Sekolah elit zaman penjajahan Belanda ketiga adalah STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Sekolah ini berperan penting dalam pergerakan perjuangan bangsa Indonesia. STOVIA merupakan Sekolah untuk pendidikan kedokteran bagi rakyat pribumi pada zaman Hindia Belanda.
Pelopornya adalah sekolah Dokter Djawa .Sekolah Dokter Jawa sendiri dibuka pada tahun 1851. Sekolah dokter jawa berdiri atas dasar pertimbangan untuk,mendirikan sekolah khusus petugas vaksin untuk penanganan wabah cacar di sepanjang pantai utara pulau jawa dan wilayah karesidenan Banyumas.
Mengutip situs provinsi DKI Jakarta, menjelang pada akhir abad ke-19 atau 1902, Sekolah Dokter Djawa ditransformasikan ke dalam STOVIA.
Tujuan STOVIA didirikan adalah untuk mencetak tenaga medis di di daerah . Selain itu pula bertugas di rumah sakit tentara Batavia. Pada awalnya pendidikan di STOVIA diwajibkan mengenakan pakaian daerah, baju, kain, blangkon, dan tanpa alas kaki
Bahasa pengantar dalam proses pembelajaran di sana menggunakan bahasa belanda. Sehingga para muridnya harus ikut kursus dari sekolah angka satu,yaitu golongan priyayi.
Banyak siswa STOVIA berasal dari keluarga kurang mampu. Sehingga sempat dianggap sebagai sekolah orang miskin. Waktu tempuh pendidikan di STOVIA awalnya selama dua tahun,tapi berubah Sejak 1875 menjadi enam tahun.
Di STOVIA, pada 1902 kelulusannya dianggap sebagai dokter dengan gelar inlandse arts.
Pada 1913, apabila sebelumnya lulusannya memperoleh gelar dokter jawa diubah menjadi inlandsch arts yang artinya dokter bumiputera atau pribumi,mereka mempunyai wewenang mempraktekkan ilmu kedokteran seluruhnya termasuk ilmu kebidanan.
Dalam perkembangannya, stovia menjadi sekolah yang mendidik dokter bumiputera dan bukan hanya dokter jawa. Gedung stovia awalnya terletak di hospitaalweg, kemudian pada 5 juli 1920 semua pendidikan dipindahkan ke Salemba yang sekarang lebih dikenal masyarakat dengan nama Fakultas Kedokteran Universitan Indonesia.
Sementara bangunan hospitaalweg dipakai untuk asrama siswa. Penggunaan gedung STOVIA sebagai tempat kegiatan pembelajaran berakhir setelah pendudukan jepang ada 1942.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News