Womanindonesia.co.id – Alih-alih mengalami masa transisi dan kekeringan, Indonesia diperkirakan akan mengalami musim hujan yang berkepanjangan karena pembentukan badai dan masalah El Nino.
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut musim kemarau yang lebih kering bisa terjadi lebih awal di Indonesia akibat datangnya El Nino.
Namun, ahli meteorologi Erma Yulihastin dari Pusat Riset dan Inovasi (BRIN) tidak sependapat.
“Konvergensi angin di Jawa dan monsun Asia semakin intensif. Makanya saya tidak pernah bilang itu musim kemarau atau peralihan. Kalau perlu musim hujan diperpanjang,” katanya di akun Twitternya, Minggu (26/3).
Dia menunjukkan beberapa gejala fenomena stres. Pertama, pertumbuhan dan pergerakan eddy di Samudera Hindia bagian selatan.
Mengutip Layanan Cuaca Nasional AS, istilah pusaran biasanya mengacu pada aliran udara berlawanan arah jarum jam yang membantu menjaga agar udara tetap dingin.
Misalnya pusaran kutub dan pusaran Kalimantan. M. Nitsche dari University of New Mexico, Albuquerque, USA menyebutkan dalam bukunya Encyclopedia of Mathematical Physics bahwa vortisitas memiliki jari-jari yang berbeda. Tornado misalnya 10-500 meter, angin topan 100-2000 km.
Menurut Erma, berdasarkan pantauan aplikasi SADEWA, potensi awal pertumbuhan pusaran air mulai terjadi pada Rabu (22/3).
Pertama, itu adalah turnamen kecil, berukuran sekitar 2 km, yang disebut turnamen Mezo-Gamma. Lokasinya berada di atas Samudera Hindia sebelah selatan khatulistiwa.
Dalam 20 jam, pusaran menjadi semakin besar dengan radius lebih dari 100 km, yang disebut pusaran Mid-Beta. Pusaran tersebut terus membesar hingga menjadi meso-alpha vortex dengan radius putaran lebih dari 1000 km.
Hujan di Sumatera dan Jawa semakin intensif dan meningkat lagi sebagai efek pusaran pertumbuhan.
Ia juga mengatakan, hal ini bisa memicu hujan di Pulau Jawa karena faktor arah angin. “Dinamika pilin Samudera Hindia selatan berperan dalam menciptakan konvergensi yang luas di atas Jawa,” katanya.
“Kemana perginya massa awan besar siklon Samudra Hindia ini? Mungkinkah dia hanya tinggal di sana? Perhatikan arah angin. Ini adalah fenomena ekstrim yang saya peringatkan beberapa hari yang lalu,” katanya dalam tweet.
Dia mengungkapkan, pusaran berbentuk ganda juga terbentuk di sekitar Laut Banda yang memicu hujan di sekitar Maluku.
Konsekuensi kedua Erma, hujan terus menerus atau terus menerus. Dia mencontohkan, akibat sirkulasi Samudera Hindia, hujan deras bisa menghanyutkan Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur selama berhari-hari.
“Yang pasti ini juga menunjukkan Indonesia belum masuk musim kemarau. Kalau hujan terus menerus dan berlangsung berhari-hari, diikuti angin barat khas musim hujan, berarti musim kemarau belum ada. dia berkata.
Ketiga, El Nino tak merata. Erma menyebut fenomena iklim ini cuma mempercepat awal kemarau di Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Memang El Nino diprediksi mulai terjadi pada Mei 2023 oleh berbagai model global. Namun, dampaknya tidak untuk wilayah Indonesia secara keseluruhan. Pengaruh El Nino yang mempercepat awal kemarau hanya terjadi di wilayah NTT seperti Kupang dan Manggarai Barat,” tutur dia.
Sementara di NTB musim kemarau masih normal dan cenderung masih banyak hujan.
“Pada saat yang sama, musim memiliki siklus 3-6 bulan yang ditandai dengan angin konstan dan curah hujan terus meningkat atau rendah. Jadi jika pengatur utama musim adalah periode mingguan, berarti efek kekeringan El Nino tidak ada. lagi penting,” lanjut Erma.
Keempat, gelombang Kelvin atmosfer dan gelombang Rossby ekuator. Dua gelombang yang disebutnya sebagai penentu musim selama 5 tahun terakhir ini berkaitan erat dengan Vortex.
“Dengan kata lain, cara kita mengetahui gelombang Kelvin atau Rossby yang kuat di atmosfer adalah salah satu cara terbentuknya pusaran air,” katanya.
Sebelumnya pada Jumat (24/3), Deputi Ahli Meteorologi Guswanto dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan: “Secara umum, Indonesia sedang memasuki fase transisi.”
“Saat Ramadhan dimulai, sebagian besar wilayah Indonesia akan datang ke daerah Pancaroba,” lanjutnya.
Gejalanya antara lain suhu panas pada pagi hingga siang hari, munculnya awan konvektif (yang membentuk hujan) pada sore hingga malam hari, disertai hujan disertai petir dan angin kencang untuk beberapa saat.
“Kondisi saat ini dapat memicu kondisi suhu siang hari di Jabodetabek dan beberapa wilayah Indonesia lainnya yang mungkin cukup panas,” kata Guswanto.
Disinggung soal musim kemarau saat El Nino datang lebih cepat, Guswanto mengatakan, “Awal musim kemarau tidak serentak, tapi mengikuti musim dan waktu dalam setahun. Khusus untuk DKI Jakarta, musim kemarau di bulan Juni.”
Ia pun membeberkan kronologi awal musim kemarau di Indonesia.
1 April: Bali, NTB, NTT, sebagian besar Jawa Timur
2. Mei: sebagian besar Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian besar Jawa Barat, sebagian besar Banten, sebagian pulau Sumatera bagian selatan, Papua bagian selatan.
3 Juni: Jakarta, sebagian kecil pulau Jawa, sebagian besar Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, sebagian besar Riau, sebagian besar Sumatera Barat, sebagian besar pulau Kalimantan Selatan, sebagian besar pulau Sulawesi Utara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News