Womanindonesia.co.id – Setiap tanggal 17 Agustus masyarakat Indonesia merayakan hari kemerdekaan dengan sukacita. Bendera merah putih dikibarkan, kesenian rakyat digelar, perlombaan-perlombaan dipertandingkan. Semua itu adalah ekspresi rasa syukur atas terbebasnya bangsa Indonesia dari penjajahan. Hidup merdeka adalah hak asasi setiap bangsa, bahkan setiap jiwa.
Proses kemerdekaan sebuah bangsa hampir sama dengan proses kemerdekaan sebuah jiwa. Terbebas dari belenggu yang mengekang, yang membatasi gerak langkah. Bedanya, penjajahan sebuah bangsa dilakukan oleh bangsa lainnya, penjajahan jiwa dilakukan oleh dirinya sendiri. Diri sendiri dimaksud adalah ego dan nafsu.
Sederhananya, ego dan nafsu itu adalah keinginan buruk yang berdampak tidak baik kepada diri sendiri dan bahkan kepada orang lain. Desakan di dalam diri yang bertentangan dengan hati nurani. Ini adalah bentuk penjajahan yang halus, yang banyak orang tidak menyadari kalau jiwanya sedang dijajah oleh ego dan nafsu.
Saya mengenal seorang lelaki baik yang sudah merdeka dari ego dan nafsunya. Mungkin belum sepenuhnya merdeka tetapi setidaknya dia memiliki prinsip-prinsip kemerdekaan jiwa yang mengagumkan.
“Selama kita masih merasa melambung dengan pujian dan menderita oleh hinaan, jiwa kita belum merdeka. Selama faktor eksternal memengaruhi faktor internal kita, selama itu juga kita masih dijajah oleh orang lain. Itu belum seberapa, yang paling menyedihkan adalah kita dijajah oleh diri kita sendiri, oleh keinginan-keinginan yang tak ada habisnya.” Begitu katanya pada sebuah percakapan.
Lama saya merenungi pernyataannya itu. Ada makna yang dalam dan kuat pada prinsip hidupnya. Saya jadi teringat percakapan Nabi Muhammad dan para sahabatnya sepulang dari sebuah perang besar. Nabi berkata, “Kita baru saja pulang dari perang kecil menuju perang terbesar.” Sambil terperangah para sahabat bertanya, “Apa gerangan perang terbesar itu wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Perang menaklukan diri sendiri.”
Ego menginginkan untuk selalu dipuja dan diistimewakan. Ego akan menyatakan perang kepada siapapun yang menghinanya, bahkan kepada yang sekadar memberi masukan dengan niat baik. Baginya, yang paling istimewa di muka bumi ini adalah dirinya sendiri. Mereka yang dijajah oleh egonya akan sulit menerima pencerahan. Spiritualnya tidak akan berkembang. Nafsu adalah hal lainnya. Sebuah desakan di dalam diri untuk melakukan hal-hal yang tidak baik, bahkan terlarang. Biasanya nafsu disupport oleh logika dengan pembenaran-pembenaran yang disesuaikan.
“Tak mengapa Hawa, petik saja buah terlarang itu kamu pantas memiliki kehidupan yang abadi. Bukankah keabadian yang diisi dengan kebaikan adalah baik?” Mungkin seperti itu bisikan nafsu kepada Hawa di surga dulu yang menjadikannya hawa nafsu.
“Tak mengapa sayang, beli saja HP model terbaru itu, kamu akan terlihat keren membawanya. Mahal sih, tapi ngga apa-apa sesekali menghadiahi diri sendiri itu baik, ngga dosa juga.” Seperti itu bisikan nafsu di dunia sekarang.
Memang benar, perang terbesar dan tersulit itu melawan diri sendiri. Melawan keinginan untuk dipuji, melawan keinginan untuk terlihat hebat, melawan rasa malas, melawan amarah, melawan perasaan benci, dan perlawanan-perlawanan kepada diri sendiri lainnya.
Kita sering salah fokus, berusaha mengendalikan perlakuan orang lain terhadap diri kita, itu di luar jangkauan kita. Kita tidak bisa mengendalikan perasaan orang lain untuk tidak membenci kita, tetapi kita bisa mengendalikan perasaan kita untuk tidak membenci orang lain. Fokuslah pada yang bisa kita kendalikan, bukan pada yang tidak bisa kita kendalikan.
Sekaranglah saatnya membebaskan jiwa dari penjajahan ego dan nafsu. Jadilah pahlawan untuk diri kita sendiri. Jadilah manusia merdeka!
“Menjadi manusia bebas itu bukan bebas melakukan apapun yang kita mau. Manusia bebas itu yang sudah merdeka dari keburukan dirinya sendiri.” Kata lelaki baik itu mengakhiri percakapan.
Mohamad Risat
Motivator Jiwa Bahagia
Tulisan ini eksklusif ditulis langsung oleh penulisnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News