WomanIndonesia.co.id – Masa liburan sekolah biasanya dimanfaatkan oleh para orangtua untuk membawa anak laki-lakinya untuk dikhitan.
Khitan, sunat, atau sirkumsisi pada dasarnya adalah pemotongan sebagian dari preputium (kulit yang menutupi penis) sehingga keseluruhan glans penis menjadi terlihat.
Menurut Dokter Spesialis Bedah Anak RS Pondok Indah Bintaro Jaya, dr. Yessi Eldiyani, Sp. BA tindakan ini biasa dilakukan pada usia anak-anak menjelang akil balig pada umat Islam.
Namun, kini, tak jarang juga orangtua yang mengajak anak laki-lakinya untuk dikhitan sejak usia balita, meskipun tanpa adanya indikasi medis.
Indikasi
Sebagian besar operasi bedah sirkumsisi memang dilakukan bukan berdasarkan alasan medis, tetapi lebih ke arah keagamaan maupun adat istiadat dan budaya.
“Sedangkan sebagiannya lagi dilakukan karena adanya indikasi medis,” kata dr. Yessi di Jakarta baru-baru ini.
Ia menjelaskan beberapa indikasi medis di antaranya dilatarbelakangi oleh:
1. Fimosis yang patologis (karena penyakit). Fimosis merupakan kulup penis yang melekat kencang pada kepala penis sehingga tidak dapat ditarik ke belakang melewati kepala penis. Kondisi ini umum terjadi pada anak berusia dua hingga enam tahun.
“Seiring waktu, kulup penis seharusnya mulai terpisah dari kepala penis secara alami,” ujar dr. Yessi. Namun, lanjut ia bagi beberapa anak, kulup penis masih belum dapat ditarik ke belakang hingga usia 17 tahun.
Fimosis ini biasanya berhubungan dengan peradangan pada kepala penis (balanitis) dan peradangan pada kulup dan kepala penis (balanopostitis) yang terjadi secara berulang.
“Fimosis masih dianggap wajar dan tidak menimbulkan masalah selama terjadi saat masih bayi dan balita,” kata dr. Yessi.
2. Terjadinya infeksi saluran kemih berulang
3. Adanya paraphimosis, yakni keadaan di mana preputium yang telah ditarik ke bagian belakang, tidak dapat dikembalikan pada posisi semula.
Manfaat Sirkumsisi
Menurut dr. Yessi bagi anak yang sudah melakukan sirkumsisi, tentu banyak manfaat yang didapat. Sirkumsisi bisa menurunkan risiko terjadinya infeksi pada saluran kemih, menjaga terjadinya balanitis dan balanopostitis.
“Sirkumsisi juga dapat mencegah terjadinya fimosis dan paraphimosis, yaitu ketika kulup tidak bisa ditarik kembali dan terjebak di sekitar ujung penis,” terangnya.
Teknik Sirkumsisi
Lebih lanjut dr. Yessi menjelaskan, dua cara tindakan operasi bedah sirkumsisi yang biasa dilakukan, yaitu secara konvensional dan smart clamp.
Cara pertama (konvensional) adalah dengan memotong kulit yang menutupi glans penis, kemudian menjahitnya. Sementara smart clamp adalah metode menghentikan aliran darah ke preputium sehingga preputium akan mengalami kematian dan terlepas sendiri.
“Kekurangan dari cara kedua adalah pengerjaannya membutuhkan waktu yang lebih lama bila dibandingkan dengan cara yang pertama,” katanya.
Sebelum melakukan tindakan sirkumsisi, lanjut dr. Yessi anak akan diberikan anestesi lokal, sedangkan pada tindakan sirkumsisi yang dilakukan saat bayi dan balita, biasanya diberikan anestesi umum, supaya memudahkan dokter untuk melakukan tindakan.
Komplikasi Sirkumsisi
Tidak ada yang sempurna, bahkan operasi sirkumsisi yang tergolong tindakan yang tidak terlalu sulit, dapat menghasilkan infeksi ataupun komplikasi.
Infeksi luka operasi setelah sirkumsisi sangat jarang, dengan insidensi kurang dari lima persen, namun apabila itu terjadi maka pemberian antibiotika oral dan mandi teratur dapat mengurangi infeksi tersebut.
Pasien juga dapat mengalami perdarahan setelah tindakan sirkumsisi. Apabila terjadi perdarahan ringan di sela-sela jahitan sirkumsisi dan tidak sampai mengalir atau perdarahan yang terjadi saat anak ereksi di pagi hari pada satu sampai dua hari pertama setelah tindakan.
“Jenis perdarahan itu masih dianggap normal. Ketika terjadi perdarahan tersebut cukup dikeringkan dan dioles salep antibiotika topikal untuk membantu proses penyembuhan dan mencegah infeksi,” ujarnya.
Namun demikian, segera konsultasikan dengan dokter apabila setelah sirkumsisi ditemukan perdarahan yang tidak wajar dengan jumlah banyak, mengalir tidak berhenti setelah ditekan dengan kain kassa.
Masalah lain yang dapat terjadi setelah tindakan sirkumsisi adalah meatal stenosis, yaitu penyempitan atau perlekatan pada muara saluran berkemih. Keadaan tersebut dapat terjadi pada 11 persen kasus pasien sirkumsisi.
Pada bayi, hal tersebut berhubungan dengan dermatitis yang disebabkan karena kontak dengan popok sekali pakai (diapers), sedangkan pada anak yang lebih besar hal ini berhubungan dengan balanitis xerotica obliterans (BXO).
Pasien Tidak Boleh Sirkumsisi
Kendati banyak manfaat bagi si anak, dr. Yessi tidak menganjurkan pasien yang memiliki kondisi medis tertentu melakukan tindakan sirkumsisi, karena dapat berisiko terjadinya komplikasi.
Beberapa kondisi medis tertentu tersebut seperti adanya hipospadia di muara uretra yang terletak tidak pada ujung penis, tetapi pada bagian ventral penis.
Hipospadia adalah kondisi di mana pasien seakan-akan telah disunat dari dalam kandungan. Selain itu, ketika pasien memiliki epispadia, berkebalikan letaknya dengan hipospadia, yaitu di bagian dorsal penis, dengan gejala yang sama.
“Pasien juga tidak dapat melakukan tindakan sirkumsisi apabila memiliki kelainan pembekuan darah, seperti hemofilia dan anemia aplastik,” terangnya lagi.
Maka itu, ada baiknya tindakan sirkumsisi dilakukan di rumah sakit bersama dokter spesialis bedah umum atau dokter spesialis bedah anak, agar apabila ditemukan adanya kelainan organ atau kondisi medis tertentu, dokter dapat memberikan penjelasan dan penanganan yang lebih tepat.
Usia Terbaik Sirkumsisi
Dari sisi medis, tidak ada usia tertentu yang dipandang optimal untuk melakukan prosedur sirkumsisi. Apabila tidak ada masalah atau indikasi medis tertentu, sirkumsisi bisa dilakukan kapan saja.
“Sekarang, semakin banyak orangtua yang tak segan membawa anaknya untuk dikhitan sedari dini,” kata dr. Yessi lebih jauh.
Latar belakangnya, selain karena adanya indikasi medis, juga untuk meminimalkan risiko terjadinya infeksi saluran kemih. Manfaat yang didapat dengan sirkumsisi yang dilakukan ketika bayi tak jauh berbeda dengan tindakan sirkumsisi yang dilakukan ketika anak usia sekolah.
Bedanya, penggunaan bius bisa lebih sedikit. Lalu, ketika usia bayi, bayi belum terlalu banyak bergerak, sehingga proses penyembuhan pun bisa lebih cepat. Risiko khitan saat bayi, usia balita, hingga usia sekolah juga relatif sama.
Pentingnya Edukasi Pasca Sirkumsisi
Setelah tindakan sirkumsisi, pasien akan mengalami beberapa reaksi jangka pendek yang tidak membahayakan. Oleh karena itu, hal ini tidak perlu dikhawatirkan.
“Reaksi tersebut antara lain seperti rasa ngilu pada kepala penis yang baru dikhitan,” kata dr. Yessi.
Hal tersebut wajar dan terjadi karena kepala penis menjadi lebih sensitif terhadap sentuhan atau kontak dengan celana dalam. Rasa ngilu akan berangsur-angsur berkurang dalam kurun waktu dua sampai empat minggu.
Pasien disarankan untuk menggunakan celana dalam yang lebih longgar atau celana dalam sunat. Bila selesai berkemih jangan lupa bersihkan sisa air dengan tisu atau kasa pada tiga hari pertama selesai sirkumsisi.
Selanjutnya, diharapkan pada seminggu awal sirkumsisi sebaiknya mengurangi aktivitas naik sepeda, naik motor, atau menunggang kuda untuk mengurangi gesekan antara luka sirkumsisi dengan sadel.
“Jadi, mumpung sekolah sedang libur, yuk, sirkumsisi. Semoga informasi ini dapat menjadi pencerahan bagi Anda yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai sirkumsi. Jangan lupa berkonsultasi dahulu ke dokter spesialis anak Anda sebelum mengajak buah hati Anda untuk sirkumsisi,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News