Womanindonesia.co.id – Budaya Peranakan Tionghoa, sebagai bagian integral dari warisan budaya Indonesia, memegang peran penting dalam membentuk identitas Indonesia.
Keberadaannya tercermin jelas mulai dari aspek bahasa, arsitektur, kain tradisional, kuliner, ekonomi, hingga menjadi bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Namun, minimnya informasi mengenai budaya peranakan Tionghoa saat ini dapat memicu ketidakpahaman serta miskonsepsi mengenai esensi dan peranannya dalam keragaman budaya Indonesia.
“Budaya peranakan Tionghoa merupakan produk budaya hasil akulturasi budaya Tionghoa dengan budaya lokal Indonesia, misalnya batik pesisir pantai utara Jawa seperti di daerah Lasem, Cirebon, dan Pekalongan atau di bidang kuliner, seperti wedang ronde, bakso, dan sebagainya,” kata Eddy P. Witanto, akademisi sekaligus penggiat budaya peranakan Tionghoa di Indonesia, pada acara diskusi yang diadakan oleh Yayasan Ikon Kebudayaan Nusantara, di Sakyaputra Mandira, Jakarta (09/04).
Eddy menambahkan, akulturasi budaya ini yang terbentuk di suatu tempat di Indonesia sangat dipengaruhi derajat akulturasi budaya antara budaya peranakan Tionghoa dan budaya lokal setempat, misalnya orang-orang Tionghoa yang sudah sangat lama menetap di pantai utara Jawa tentu akan menghasilkan corak budaya peranakan Tionghoa yang berbeda dari warga Tionghoa di Kalimantan Barat atau Sumatera yang baru terbentuk mulai abad ke-18an.
Di luar konteks budaya, warga Tionghoa telah aktif di berbagai sektor di Indonesia, bukan hanya sektor perdagangan semata, namun sayangnya hal ini yang jarang terekspos oleh publik. Eddy mencontohkan, Dokter Oen Boen Ing yang pada tahun 1976 menerima Satya Lencana Kebaktian Sosial dari pemerintah Indonesia atas jasa dan pengabdiannya yang tanpa pamrih kepada masyarakat.
Dalam bidang militer, Laksamana Muda TNI (Purn.) John Lie Tjeng Tjoan atau dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma adalah seorang perwira Angkatan Laut RI di masa penjajahan Jepang yang menjalankan berbagai misi-misi menembus blokade Belanda.
John Lie mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009 di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Di era sekarang, di tengah kepopuleran kata chindo di media sosial, budaya ini ternyata mengalami berbagai tantangan, mulai dari cultural gap, perbedaan muatan pengetahuan soal budaya peranakan Tionghoa antara generasi tua dan generasi sekarang hingga pelestarian budaya peranakan Tionghoa melalui informasi yang tepat.
“Sebagai bagian dari gen Z peranakan Tionghoa, saya terdorong untuk melestarikan budaya peranakan Tionghoa melalui media sosial. Harapannya, jika informasi soal budaya peranakan Tionghoa disampaikan oleh generasi yang sama, maka informasi tersebut bisa diterima dengan mudah,” ujar Selly Gouw, gen Z influencer dengan ratusan ribu pengikut di berbagai media sosial miliknya.
Hal senada juga disampaikan oleh CEO Yayasan Ikon Kebudayaan Nusantara, Laurensius Chandra yang mengatakan bahwa acara diskusi ini merupakan titik awal untuk menjadi katalisator untuk pelestarian dan kemajuan warisan budaya di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News