Dalam surat cintanya Kahlil Gibran menulis; “Cinta tumbuh bukan karena menemukan orang yang sempurna, melainkan kemampuan menerima kelemahan-kelemahan orang itu secara sempurna.” Anda setuju kan dengan pendapat penyair asal Libanon ini? Sama, saya juga. Ya, karena di dunia ini tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa.
Ketidaksempurnaan yang melekat pada diri kita adalah kesempurnaan yang diciptakan oleh-Nya. Maksudnya gimana sih? Begini, tentu saja bagi-Nya sangat mudah menciptakan kita manusia sempurna seperti kesempurnaan versi kita, tetapi nyatanya kan tidak. Itu bukan berarti Tuhan hanya mampu menciptakan manusia-manusia yang tidak sempurna, itu karena Tuhan punya rencana yang sempurna untuk ketidaksempurnaan kita itu. Reaksi kita pada ketidaksempurnaan yang kita miliki, juga pada ketidaksempurnaan yang dimiliki orang lain menentukan kualitas hidup kita yang tidak hanya menjadi dasar penilaian, juga menentukan kebahagiaan kita. Bahkan nasib kita. Itu salah satu hikmah kenapa kita tidak sempurna, dan hikmah-hikmah lainnya yang tidak kita ketahui.
Di Jepang ada yang namanya Wabi Sabi, yaitu sebuah filosofi cara menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan. Lebih luas lagi filosofi ini tentang menerima ketidakabadian dan ketidaksempurnaan dalam hidup. Wabi Sabi mengajarkan tiga realitas; bahwa di dalam hidup ini ada hal-hal yang tidak dapat bertahan, tidak ada yang sempurna, dan tidak selesai.
Dalam hidup ini memang kita harus bisa menerima kenyataan bahwa tidak ada yang abadi, tidak ada yang sempurna, dan ada hal-hal yang tidak selesai juga. Mau tidak mau kita akan mengalaminya. Ini bukan tentang cara bagaimana menghindarinya, tetapi bagaimana cara menghadapinya dengan bijaksana. Tolok ukur bijaksana di sini sebenarnya sederhana, jika reaksi kita membuat kita menderita terhadap ketiga hal itu berarti kita belum bijaksana. Sebaliknya, jika kita bisa menerimanya dengan sepenuh hati dan tidak merasa menderita berarti kita bisa disebut bijaksana.
Saya menemukan sebuah meja di gudang, meja milik bapak yang sudah lama tak terpakai. Kebetulan saya memerlukan sebuah meja untuk di ruang kerja saya yang baru. Sebenarnya sudah ada rencana untuk membeli meja, sudah cari-cari di toko online juga, malah sudah menyimpan beberapa di keranjang.
“Ah siapa tau ni meja masih bisa diselamatkan.” Pikir saya saat menemukan meja Almarhum Bapak itu di gudang.
Permukaan meja itu warna kayunya sudah pudar, sudah banyak bercak-beracak dan goresan-goresan seperti lukisan abstrak. Kaki-kakinya yang terbuat dari besi juga sudah berkarat parah dan ada satu kakinya yang ujungnya patah. Tapi sebenarnya model meja itu cantik seperti meja-meja zaman Belanda dulu, saya menyukainya. Akhirnya saya putuskan untuk memakai meja itu. Tentu saja saya bersihkan terlebih dahulu dan kaki-kakinya diamplas lalu dicat baru untuk menghilangkan karatnya.
Setelah dibersihkan dan dicat kaki-kakinya walau pun tidak ada perubahan yang berarti meja itu sudah siap digunakan. Meja antik itu saya tempatkan di salah satu sisi ruangan, dirapatkan ke dinding supaya kokoh karena memang meja itu sudah agak reyot. Kakinya yang pincang saya ganjal menggunakan kayu. Lama-lama saya terbiasa dengan meja itu, malah sekarang saya sangat menyukainya. Nyaman aja rasanya bekerja di meja itu.
Kini saya baru tahu bahwa menyukai benda yang tidak sempurna seperti menyukai meja yang saya ceritaka di atas juga adalah Wabi Sabi. Bahkan, para penganut filosofi Wabi Sabi dengan sengaja membuat perlengkapan rumah seperti lemari, kursi, cangkir keramik, bahkan membuat bangunan rumah itu sendiri dengan tidak sempurna, tidak presisi. Mereka selalu berhasil menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan yang disengaja itu, bahkan sangat menyukai dan mengaguminya. Ada kepuasan tersendiri menyukai benda-benda yang tak sempurna itu.
Sudut pandang Wabi Sabi juga tidak hanya berlaku pada benda-benda tetapi juga kepada manusia yang ditemuinya, baik dari aspek fisiknya maupun karakternya. Kembali lagi, mereka menyadari realita bahwa di dalam hidup ini ada hal-hal yang tidak dapat bertahan, tidak ada yang sempurna, dan tidak selesai.
Kita bisa belajar dari filosofi masyarakat Jepang itu dalam memandang seseorang sehingga kita bisa lebih mudah untuk menerima kekurangannya, menerima ketidaksempurnaannya. Orangtua kita, anak-anak kita, teman-teman kita, termasuk pasangan kita, mereka adalah sosok yang tidak abadi, yang tidak sempurna, bahkan tidak selesai bersama kita. Ini adalah kenyataan yang harus kita terima bukan untuk dipersoalkan. Di level berikutnya, lebih dari sekadar menerimanya melainkan mencintainya. Mencintai ketidaksempurnaannya.
Sekali lagi, benar apa yang dikatakan Kahlil Gibran, “Cinta tumbuh bukan karena menemukan orang yang sempurna, melainkan kemampuan menerima kelemahan-kelemahan orang itu secara sempurna.” Semoga saya, Anda, kita semua diberi kemampuan untuk menerima ketidaksempurnaan mereka sehingga cinta bisa tumbuh bermekaran di kebun hati.
Terima kasih sudah membaca tulisan sederhana ini, semoga bermanfaat. Saya bahagia bisa berbagi dengan Anda, saya juga bahagia bisa menulisnya di atas meja yang tak sempurna.
Mohamad Risat
Motivator Jiwa Bahagia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News