Womanindonesia.co.id – Presiden RI Joko Widodo telah mengatakan bahwa Indonesia akan menghadapi krisis ekonomi di tahun 2023. Hal ini salah satu imbas resesi global yang mengancam 66 negara di dunia.
Pemerintah telah mempersiakan sejumlah langkah antisipasi menghadapi krisis global tahun depan.
Karenanya masyarakat tak perlu khawatir dengan tekanan ekonomi global yang tengah berlangsung. Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko memberikan contoh, tekanan pandemi Covid-19 terhadap perekonomian kita dalam dua tahun terakhir.
Jika ditotalkan lebih dari 1000 trilliun rupiah dianggarkan untuk itu. Nilainya sama dengan membangun dua ibu kota negara, tetapi kita siap dengan kebijakan refocusing anggaran.
“Ya kondisi pandemi yang masih berlangsung ini diperburuk oleh kondisi geopolitik, perang Russia dan Ukraina. Agregat dari dua krisis ini membuat situasi semakin rumit,” paparnya dalam diskusi virtual Capaian Kinerja Pemerintah Tahun 2022 belum lama ini.
Menurutnya, pandemi Covid-19 dan krisis geopolitik telah membawa tiga ancaman besar, di antaranya ancaman krisis pangan, krisis energi dan terakhir krisis keuangan global.
“Makanya Presiden selalu tegaskan pentingnya masyarakat Indonesia untuk pahami itu untuk tanam apa saja agar bisa terhindar dari krisis,”ujarnya.
Sejauh ini, lanjut Moeldoko, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah sangat jitu dalam menghindari krisis pangan. Karena dalam mewujudkan swasembada pangan, menurutnya, ada indikasi-indikasi yang sangat jelas bagaimana pemerintah sudah membangun berbagai macam infrastruktur untuk mendorong produksi pangan.
Terhadap sektor pertanian, pemerintah membangun 35 unit bendungan, 10 ribu hektar daerah irigasi, rehabilitasi terhadap 142.625 hektar jaringan irigasi, lalu pembangunan 21 unit embung dan penyediaan 2,86 meter kubik per detik air baku, dan 157 kilometer pengendali banjir dan pengamanan pantai
“Ini yang membuat kita dalam tiga tahun terakhir relatif surplus dalam swasembada pangan, karena pemerintah sudah menyiapkan segalanya, mengantisipasi atas situasi yang terjadi. Karena begitu terjadi situasi yang tidak menguntungkan, kita sudah siap dalam posisi itu. Alhamdullilah kita tidak kekurangan pangan, dan saat ini kita surplus swasembada pangan kurang lebih 10 juta ton dalam tiga tahun terakhir ini,” ungkap Moeldoko.
Menurut Moeldoko, selain pangan, langkah antisipasi serupa juga dilakukan di sektor energi. Jokowi sudah menerapkan kebijakan B30, sebagai solusi agar kita tidak tergantung dari market ekspor. Dengan itu kelapa sawit sudah mandiri di sisi harga.
“Lalu ada juga kebijakan energi baru dan terbarukan (EBT) yang relatif kita bisa nikmati beberapa tahun ke depan,” tambahnya.
Terkait EBT ini terangnya memang tidak bisa cepat, sebab sebagai contoh untuk bangun PLTA itu rata-rata di atas 10 tahun, lalu solar panel perlu juga dipikirkan dengan teknologinya agar kita menjadi bangsa pengekspor (energi), apalagi di sini kita banyak bahan bakunya.
“Kita sudah punya program katalis merah putih, PSN bahan bakar hijau yang projectnya sudah mencapai 47,19 persen, kita harapkan ini akan memperkuat program EBT kita. Kemudian ada green refinery dari PT Pertamina, Plaju, Cilacap dan juga persiapan B40 serta ada pula bioavtur,”ujarnya.
Adapun terkait ancaman krisis keuangan, menurut Moeldoko, presiden telah beberapa kali mengumpulkan kepala daerah dan telah meminta Pemda untuk terlibat dalam urusan inflasi. Yaitu bagaimana pemda bisa berikan subisidi atas distribusi barang agar tidak salah langkah di daerah yang mengakibatkan harga meningkat.
Moeldoko melanjutkan bahwa pemerintah juga memberikan atensi, jangan sampai masalah cabai dan minyak menjadi persoalan inflasi yang meningkat. Presiden pun sudah sangat cepat mengantisipasi situasi situasi itu.
Lalu ada pula bantuan- bantuan sosial untuk perlindungan sosial diberikan cukup masif, sehingga masyarakat di satu sisi memiliki daya beli yang terjaga dan di sisi yang lain pengelurannya terkurangi. Itu kira-kira langkah riil yang dilakukan oleh pemerintah sehingga ketiga isu itu (antisipasi inflasi, subsidi distribusi dan menjaga daya beli) relatif masih dalam kondisi yang stabil.
Untuk tahun depan, Moeldoko menegaskan bahwa langkah pemerintah untuk menghadapi krisis juga tidak berubah. Dua hal yang selalu dikatakan Presiden, bahwa kita boleh optimis tetapi kita harus tetap pada level waspada, kita tidak boleh banyak banyak rebahan.
“Maknanya apa, bahwa dalam situasi krisis saat ini, presiden tetap konsentrasi pada pembangunan yang on the track, tetap fokus tetap dalam RPJMN yang sudah ditetapkan tetapi dalam praktiknya tetap ada ruang dinamis. Contoh dalam covid kemarin (pandemi) kita refocusing. Jadi tahun depan kalau peperangan terus berjalan lama, harga minyak kembali naik maka kita sudah siap. Intinya tahun depan juga pemerintah sudah siapkan skenario-skenario,” ucapnya.
Politik Identitas karena Hoax
Moeldoko tegaskan, ada tiga pendekatan yang dilakukan pemerintah menghadapi politik identitas karena sebaran hoax. Pertama, melalui pendekatan instrumentalia, Kominfo sudah mempunyai berbagai alat canggih yang relatif bisa memantau atau memonitor pergerakan hoax itu sendiri dalam menurunkan kontennya.
Kominfo juga punya cara penanganan bagaimana laporan itu bisa dilihat di website Kominfo. Masyarakat bisa melihat perkembangan penyelesaiannya.
Kedua, melalui, modal sosial, setelah menghadapi Covid yang muncul di masyarakat adalah gotong royong dan kohesivitas sosial. Modal sosial ini harus dikuatkan oleh semua pihak.
Seperti oleh tokoh agama, pemerintah daerah atau oleh siapapun termasuk para guru dan seterusnya. Modal sosial ini sangat mahal, itu terbangun karena ancaman pandemi. “Jangan sampai hilang begitu
saja,” tandasnya.
Ketiga yang ditekankan Moeldoko adalah pendekatan law enforcement. Tindak tegas saja pelakunya. Jangan sampai ampun. “Makanya harus tegas ke pelaku yang selalu lakukan missinformasi atau hoax,” ujar Moeldoko mengakhiri paparannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News