WomanIndonesia.co.id – Sejarah kemerdekaan Indonesia mencatat, bahwa kemerdekaan yang diraih saat ini adalah berkat para pejuang yang sudah berkorban. Pengorbanan mereka bukan hanya harta dan tenaga, tapi rela mengorbankan nyawa. Sudah selayaknya kita yang menikmati kemerdekaan saat ini, berterimakasih atas jasa setiap pahlawan-pahlawan yang membela tanah air.
Dibalik tokoh-tokoh heroik para jendral dan tentara yang berani, ada 9 tokoh perempuan Indonesia yang pernah tercatat berperan dalam perjuangan di Indonesia. Ke-9 tokoh perempuan ini hadir di setiap masa yang berbeda, tapi semua tujuannya sama adalah memperjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sudah 76 tahun Indonesia merdeka. Atas jasa para pejuang ini kita sekarang menikmati kemerdekaan. Dan saat ini pun Indonesia sedang berjuang kembali melawan pandemi Covid -19. Masa yang sulit harus dilewati dan harus dihadapi. Maka pemerintah Indonesia pun mengangkat tema sebagai bentuk penguatan untuk masyarakat, yaitu Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh.
Baca Juga Hebat, Lima Perempuan Ini Sukses Geluti Bisnis Kaum Adam
Jadi selayaknya kita sekarang tetap berjuang dan tetap tangguh seperti halnya para pejuang terdahulu melawan penjajah. Seperti halnya ke-9 tokoh perempuan Indonesia hebat ini dengan perjuangannya.
Laksama Keumalahayati
Keumalahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530–1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada tahun 1585–1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal.
Dia mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati. Saat meninggal dunia, jasad Malahayati dikebumikan di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.
Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang (1762-10 Agustus 1855) atau dikenal juga sebagai Raden Ayu Serang memiliki nama kecil Raden Ajeng Retno Kursiah Edi. Setelah menikah, namanya menjadi Bendoro Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional, yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.
Nyi (Nyai) Ageng Serang dilahirkan sekitar tahun 1762 di Desa Serang sekitar 40 km sebelah utara Surakarta dekat Purwodadi, Jawa Tengah. Nyi Ageng Serang masih keturunan Sunan Kalijaga. Ayahnya adalah Pangeran Ronggo seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati Notoprojo. Pangeran Notoprojo menguasai wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di wilayah Serang yang sekarang berada di wilayah perbatasan Grobogan-Sragen.
Pada awal Perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Tidak hanya turut berperang, ia juga menjadi penasihat perang. Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.
Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah. Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran. Nyi Ageng Serang meninggal di Yogyakarta tanggal 10 Agustus 1855 dan dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo
Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu adalah seorang pejuang wanita yang melawan tentara kolonial Belanda. Martha Christina Tiahahu lahir di Maluku, 4 Januari 1800. Di usianya yang saat itu masih 17 tahun, Martha menjadi salah satu pemimpin tentara rakyat Maluku.
Martha sempat turun berperan dalam pertempuran melawan Belanda di Pulau Saparua, tepatnya di Desa Ouw, Ullath. Atas perjuangannya yang berani, Martha pun dijuluki sebagai srikandi dari tanah Maluku.
Ia merupakan seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Martha menjadi anak sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu, dan dikenal sebagai gadis yang pemberani dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya. Dengan rambut yang panjang terurai ke belakang, Martha terus mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran.
Dari siang sampai malam ia selalu ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Bahkan, Martha tidak hanya mengangkat senjata, ia juga memberikan semangat kepada kaum wanita di agar turut membantu kaum pria di medan pertempuran.
Maria Walanda Maramis
Maria Josephine Catherine Maramis atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada permulaan abad ke-20 yang berjasa dalam usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia. Beliau lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872.
Oleh masyarakat Minahasa tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Ibu Maria Walanda Maramis. Maria adalah sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan.
Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan “Nederlandsche Zendeling Genootschap” tahun 1981, Maria disebut sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki “bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki”.
Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu dalam keluarga di mana kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.
Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dhien adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia sebagia pejuang kemerdekaan dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Tewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 kemudian menyeret Cut Nyak Dhien lebih jauh dalam perlawanannya terhadap Belanda.
Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah sebelumnya ia dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran tersebut. Dari pernikahan ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi nama Cut Gambang.
Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya.
Usia Cut Nyak Dien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai penyakit seperti encok dan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh.
Keberadaan Cut Nyak Dhien yang dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap membuatnya kemudian diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.
Nyai Ahmad Dahlan
Nyai Ahmad Dahlan atau yang bernama asli Siti Walidah adalah tokoh pergerakan emansipasi wanita. Siti Walidah adalah istri dari pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Beliau lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1872. Ia menggagaskan pemikirannya mengenai pendidikan yang dikenal dengan konsep “catur pusat”.
Catur Pusat adalah formula pendidikan yang menyatukan empat komponen, yaitu: Pendidikan di lingkungan keluarga Pendidikan di dalam lingkungan sekolah Pendidikan di dalam lingkungan masyarakat Pendidikan di dalam lingkungan tempat ibadah Gagasan ini kemudian dapat diwujudkan menjadi sebuah sekolah.
Ayahnya bernama Kyai Haji Muhammad Fadli, seorang ulama dan anggota dari Kesultanan Yogyakarta. Siti Walidah pun bertumbuh di lingkungan keluarga yang religius. Ia menempuh pendidikan belajar di rumah dalam berbagai aspek Islam, termasuk bahasa Ara dan al-Qur’an.
Setelah kematian Ahmad Dahlan pada 1923, Nyai Ahmad Dahlan melanjutkan keaktifannya di organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Pada 1926, ia memimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Nyai Ahmad Dahlan menjadi wanita pertama yang memimpin konferensi semacam ini.
Pada 1934, ia lanjut memimpin Aisyiyah. Semasa penjajahan Jepang, Aisyiyah dilarang bekerja dengan perempuan oleh Ordo Militer Jepang di Jawa dan Madura pada 10 September 1943. Ia bekerja di sekolah dan berjuang menjaga siswanya agar tidak dipaksa untuk menyanyikan lagu-lagu Jepang.
Selama Revolusi Nasional Indonesia, Nyai Ahmad Dahlan mengelola dapur umum rumahnya untuk para tentara. Ia juga turut mempromosikan dinas militer kepada murid-muridnya. Tidak berhenti di situ, Nyai Ahmad Dahlan turut serta berpartisipasi dalam diskusi tentang perang dengan Jenderal Soedirman dan Presiden Soekarno. Akhir Hidup Nyai Ahmad Dahlan meninggal pada 31 Mei 1946. Jenazahnya disemayamkan di Masjid Kauman di Yogyakarta.
Siti Manggopoh
Siti Menggopoh, namanya memang tak seharum RA Kartini, namun perjuangannya melawan Belanda cukup fenomenal semasa zaman penjajahan. Lahir di Nagari Manggopoh Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Siti tak pernah mau takluk di tangan kolonial.
Perempuan yang akrab dipanggil Mande Siti ini diperkirakan lahir pada 1885, tetapi tak ada rujukan yang tepat mengenai tanggal kelahirannya. Alhasil, pemberontakan rakyat yang dimulai dari Kamang hingga akhirnya merambah ke Manggopoh, membuat Siti bersama dengan pemuda militan dari Manggopoh, membentuk badan perjuangan yang terdiri dari 14 orang.
Mereka adalah Rasyid (suami Siti), Siti, Majo Ali, St. Marajo Dullah, Tabat, Dukap Marah Sulaiman, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik, Tabuh St. Mangkuto, Sain St. Malik, Rahman Sidi Rajo, dan Kana.
Ia dijuluki “Singa Betina” dari Ranah Minang, betapa tidak ia tak pernah diam ketika daerahnya diperlakukan semena-mena oleh kolonial.
Setidaknya, tercatat dalam sejarah, kalau Mande Siti berperang dua kali dengan Belanda. Pertama, Kamis malam, 15 Juni 1908, titik inilah perjuangan dimulai. Pertarungan para pejuang dan Belanda pun terjadi dalam kegelapan. Siti membunuh puluhan tentara Belanda.
Sebelum meninggal dunia Siti sempat dipenjara oleh penjajah Belanda dan berpindah-pindah. Dan karena alasan anaknya masih kecil Siti pun dibebaskan. Mande Siti meninggal 20 Agustus 1965 dan dimakamkan di Makam Pejuang Manggopoh.
Hajjah Rangkayo Rasuna Said
Hajjah Rangkayo Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Agam, Sumatra Barat. Wanita yang selalu meng gunakan kerudung ini tak hanya berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia tetapi juga untuk emansipasi wanita.
Rasuna mendapatkan pendidikan sedari kecil. Ia memang dikenal dengan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan. Selain pendidikan, ia juga tertarik dengan politik. Ia ingin agar wanita saat itu juga melek politik. Perjuangan politik dimulai Rasuna saat beraktivitas di Sarekat Rakyat sebagai sekretaris. Kemudian, dia bergabung sebagai anggota di Persatuan Muslim Indonesia.
Saat terjun dalam dunia politik, Rasuna dikenal dengan kemahirannya berpidato. Isi pidato yang disam paikannya selalu tajam menyangkut pe nindasan pemerintah Belanda ketika tahun 1930. Akibat pidato yang menyinggung Belanda, Rasuna akhirnya ditangkap dan dipenjara tahun 1932 di Semarang.
Rasuna Said juga tercatat sebagai wanita pertama yang terkena hukum Speek Delict yaitu hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapa pun dapat dihukum karena berbicara menentang Belanda.
Rasuna Said sempat ditangkap bersama teman seperjuangannya Rasimah Ismail. Setelah keluar dari penjara, Rasuna Said meneruskan pendidikannya di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja. Pada 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi Majalah Raya. Karena ruang gerak yang dibatasi Belanda, Rasuna Said pindah ke Medan dan mendirikan sekolah pendidikan khusus wanita Perguruan Putri.
Dia juga menerbitkan majalah Menara Putri yang membahas seputar pentingnya peran wanita, kesetaraan antara pria, wanita, dan keislaman. Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang. Tetapi, kemudian organisasi itu dibubarkan oleh Pemerintah Jepang. Tak berhenti, Rasuna bersama Khatib Sulaiman aktif memperjuangkan dibentuk nya barisan Pembela Tanah Air (Peta).
Laskar inilah yang kelak menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) Setelah kemerdekaan Indonesia, HR Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatra mewakili daerah Sumatra Barat.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia diangkat sebagai anggota Dewan Per wakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS). Kemudian dia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya. Rasuna akhirnya meninggal dunia pada 2 November 1965 pada umur 55 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Fatmawati Soekarno
Fatmawati dilahirkan pada 5 Februari 1923 di Bengkulu.Fatmawati pertama kali bertemu dengan Bung Karno pada 1938. Saat itu, ia diajak oleh ayahnya Hassan Din untuk menemui Bung Karno yang tengah dibuang ke Bengkulu.
Fatmawati pun akhirnya menikah dengan Bung Karno pada Juli 1943.
Setahun setelah pernikahannya itu, Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Bendera Merah Putih juga boleh dikibarkan dan lagu kebangsaan Indonesia Raya diizinkan berkumandang. Fatmawati kemudian berpikir bahwa memerlukan bendera Merah Putih untuk dikibarkan di Pegangsaan 56.
Berkat bantuan Shimizu, orang yang ditunjuk oleh Pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia, Fatmawati akhirnya mendapatkan kain merah dan putih. Shimizu mengusahakannya lewat seorang pembesar Jepang, yang mengepalai gudang di Pintu Air di depan eks Bioskop Capitol. Bendera itulah yang berkibar di Pegangsaan Timur saat proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Fatmawati meninggal dunia pada usia 57 tahun di Kuala Lumpur ketika dalam perjalanan pulang dari setelah melangsungkan ibadah umrah pada 1980 akibat serangan jantung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News