Womanindonesia.co.id – Hari Pahlawan adalah hari nasional yang diperingati pada tanggal 10 November setiap tahunnya. Hari ini untuk memperingati Pertempuran Surabaya yang terjadi pada tahun 1945, di mana para tentara dan milisi indonesia yang pro-kemerdekaan berperang melawan tentara Britania Raya dan Belanda yang merupakan bagian dari Revolusi Nasional Indonesia.
Hari nasional ini ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Hari Pahlawan tak pernah lepas dari sosok Bung Tomo, tokoh penting dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Pahlawan Perempuan yang Berperang Melawan Penjajah
1. Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dien merupakan salah satu pahlawan nasional asal Aceh yang berjuang dalam melawan penjajahan Belanda. Ia lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh pada 1848 dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar.
Cut Nyak Dhien mulai ikut mengangkat senjata dan berperang melawan Belanda pada 1880. Akibat perang, suami pertamanya, Teuku Cek Ibrahim Lamnga tewas saat bertempur pada 29 Juni 1878. Bahkan, suami keduanya, Teuku Umar juga tewas tertembak pada 11 Februari 1899.
Namun dia terus berjuang melawan kekuasaan Belanda, sampai akhirnya diasingkan di Sumedang, Jawa Barat bersama tahanan politik Aceh lainnya. Pada 6 November 1908, Cut Nya Dien meninggal di pengasingan dan makamnya baru ditemukan pada 1959.
2. Cut Meutia
Cut Meutia merupakan pemimpin Gerilya Aceh yang berperang melawan pasukan kolonial Belanda. Sejak kecil, dirinya diajarkan agama Islam oleh kedua orang tuanya, bagaimana menghidupkan amar ma’ruf nahi munkar.
Cut Meutia mengambil posisi paling depan di pertarungan yang tidak seimbang dari segi jumlah dan persenjataan yang akhirnya membuat dirinya terbunuh setelah tiga tembakan peluru menerjangnya.
3. Martha Christina Tijahahu
Martha Christina Tiahahu diperkirakan lahir pada 4 Januari 1800 di Nusa Laut, sebuah pulau berjarak sekitar 70 kilometer dari Kota Ambon, Maluku. Ayahnya adalah Kapiten Paulus Tiahahu, orang terpandang di Nusa Laut.
Ia tumbuh di tengah perubahan situasi politik di antara Belanda, dan Inggris antara 1810-1816. Rakyat Maluku terkena imbasnya karena tanam paksa cengkih dan pala. Pohon-pohon mereka ditebang, dan para pemuda dipaksa masuk dinas kemiliteran.
Ketidakpuasan membuat seorang pria bernama Thomas Matulessy dan kawan-kawannya mengadakan rapat pada 3 Mei 1816 dengan kesimpulan memulai gerakan perlawanan. Matulessy mengizinkan Martha ikut berjuang.
Sejak saat itu, pada usia 17 tahun, Martha mulai bergabung dalam gerakan perlawanan. Ia juga membantu Pattimura berperang melawan Belanda. Pada 17 Mei 1817, Benteng Duurstede jatuh ke tangan pasukan Pattimura. Akan tetapi, Belanda melawan balik.
Beberapa bulan kemudian, Belanda menangkap Pattimura dan melancarkan serangan umum. Martha memimpin pasukan tempur perempuan dengan ikat kepala melingkar.
4. Laksamana Keumalahayati
Laksamana Keumalahayati adalah pahlawan perempuan Indonesia yang berasal dari Kesultanan Aceh. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530–1539 M.
Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Pada tahun 1585 – 1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah syahid) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal.
Dia mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati. Saat meninggal dunia, jasad Malahayati dikebumikan di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar.
5. Nyi Ageng Serang
Nyi Ageng Serang (1762-10 Agustus 1855) atau dikenal juga sebagai Raden Ayu Serang memiliki nama kecil Raden Ajeng Retno Kursiah Edi. Setelah menikah, namanya menjadi Bendoro Raden Ayu Kustiyah Wulaningsih Retno Edi.
Ia adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional, yaitu Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.
Nyi (Nyai) Ageng Serang dilahirkan sekitar tahun 1762 di Desa Serang sekitar 40 km sebelah utara Surakarta dekat Purwodadi, Jawa Tengah. Nyi Ageng Serang masih keturunan Sunan Kalijaga. Ayahnya adalah Pangeran Ronggo seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati Notoprojo.
Pangeran Notoprojo menguasai wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di wilayah Serang yang sekarang berada di wilayah perbatasan Grobogan-Sragen.
Pada awal Perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Tidak hanya turut berperang, ia juga menjadi penasihat perang.
Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.
Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria. Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah.
Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran. Nyi Ageng Serang meninggal di Yogyakarta tanggal 10 Agustus 1855 dan dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo.
6. Siti Manggopoh
Siti Menggopoh, namanya memang tak seharum RA Kartini, namun perjuangannya melawan Belanda cukup fenomenal semasa zaman penjajahan. Lahir di Nagari Manggopoh Kabupaten Agam, Sumatera Barat, Siti tak pernah mau takluk di tangan kolonial.
Perempuan yang akrab dipanggil Mande Siti ini diperkirakan lahir pada 1885, tetapi tak ada rujukan yang tepat mengenai tanggal kelahirannya. Alhasil, pemberontakan rakyat yang dimulai dari Kamang hingga akhirnya merambah ke Manggopoh, membuat Siti bersama dengan pemuda militan dari Manggopoh, membentuk badan perjuangan yang terdiri dari 14 orang.
Mereka adalah Rasyid (suami Siti), Siti, Majo Ali, St. Marajo Dullah, Tabat, Dukap Marah Sulaiman, Sidi Marah Kalik, Dullah Pakih Sulai, Muhammad, Unik, Tabuh St. Mangkuto, Sain St. Malik, Rahman Sidi Rajo, dan Kana.
Ia dijuluki “Singa Betina” dari Ranah Minang, betapa tidak ia tak pernah diam ketika daerahnya diperlakukan semena-mena oleh kolonial.
Setidaknya, tercatat dalam sejarah, kalau Mande Siti berperang dua kali dengan Belanda. Pertama, Kamis malam, 15 Juni 1908, titik inilah perjuangan dimulai. Pertarungan para pejuang dan Belanda pun terjadi dalam kegelapan. Siti membunuh puluhan tentara Belanda.
Sebelum meninggal dunia Siti sempat dipenjara oleh penjajah Belanda dan berpindah-pindah. Dan karena alasan anaknya masih kecil Siti pun dibebaskan. Mande Siti meninggal 20 Agustus 1965 dan dimakamkan di Makam Pejuang Manggopoh.
7. Sultanah Safiatuddin Syah
Sultanah Safiatuddin merupakan nama pahlawan perempuan Indonesia yang paling terkenal dan termahsyur di kesultanan Aceh. Lahir pada tahun 1612 ia berhasil membawa kesultanan Aceh ke dalam masa keemasan lewat kebudayaan, literasi serta pendidikan.
Dibawah kepemimpinan Sultanah Safiatuddin ia membawa kesultanan Aceh ke masa kejayaan, dalam berbagai bidang, di antaranya pendidikan, kebudayaan, penyebaran agama Islam, hingga perlawanan terhadap VOC gencar ia lakukan.
Ia juga membuat pasukan prajurit perempuan penjaga istana yang ikut serta bertempur dalam perang Malaka pada sekitar tahun 1639.
Di masanya juga, Sultanah Safiatuddin sangat tertarik dan mendukung kebudayaan dan literasi serta pendidikan. Ia me memberikan dukungan penuh pada para sastrawan dan kelompok intelektual untuk mengembangkan diri mereka.
Ia pun juga aktif membangun pesantren-pesantren untuk rakyat belajar mengaji. Sultanah Safiatuddin lebih mengedepankan jalur diplomasi ketimbang lewat militerisme. Kemampuan literasinya yang membuat ia fasih berdiplomasi dengan beberapa pihak dan berhasil menghalau ancaman-ancaman yang datang.
8. Andi Depu Maraddia Balanipa
Puang Depu Maraddia Balanipa atau Ibu Agung adalah seorang pejuang wanita asal Indonesia. Ia berhasil mempertahankan Tinambung, Polewali Mandar dari penaklukan Belanda. Pada 1942, ia mengibarkan bendera Merah Putih pada awal kedatangan pasukan Jepang di Mandar.
9. Opu Daeng Risadju
Opu Daeng Risadju merupakan pejuang perempuan dari Sulawesi Selatan yang mendapat penyiksaan hingga tuli seumur hidup. Dia adalah pejuang wanita asal Sulawesi Selatan yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Opu Daeng Risadju memiliki nama kecil Famajjah. Opu Daeng Risaju itu sendiri merupakan gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu yang disematkan pada Famajjah yang memang merupakan anggota keluarga bangsawan Luwu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News