Womanindonesia.co.id – Hari Guru Nasional (HGN) diperingati setiap tahunnya pada tanggal 23 November dengan tujuan untuk meninju penghargaan terhadap guru.
Tanggal 25 November adalah hari ulang tahun PGRI, atau Persatuan Guru Republik Indonesia, yaitu organisasi besar yang menghimpun profesi guru-guru di seluruh Indonesia.
Sejarah PGRI diawali dengan sebuah Kongres besar, Kongres Guru Indonesia yang diselenggarakan setelah proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Sejak hari itu gelora semangat lahirnya Persatuan Guru Republik Indonesia selalu diperingati setiap tanggal 25 November.
Kongres Guru Indonesia mengapa bisa diselenggarakan padahal kemerdekaan Republik Indonesia baru berselang beberapa bulan? Hal tersebut bisa dipahami karena sejak tahun 1912 Pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah organisasi guru yaitu Persatuan Guru Hindia Belanda atau PGHB.
Pada saat tahun 1932 PGHB berganti nama menjadi PGI atau Persatuan Guru Indonesia, hal ini memiliki arti bahwa para guru mulai menggelorakan semangat kebangsaan dan nasionalisme Keindonesiaan.
Namun seperti yang diketahui pendudukan Jepang tak berlangsung lama dan Indonesia berhasil menjadi negara yang merdeka. Kemerdekaan kemudian menjadi modal utama dalam perjuangan dan jati diri pada guru di Indonesia.
Di tengah huru-hara pasca merdeka, para guru melangsungkan Kongres Pendidik Bangsa di Sekolah Guru Puteri di Surakarta, Jawa Tengah.
Kongres tersebut dipimpin para tokoh pendidik seperti Amin Singgih, Rh. Koesnan dan kawan-kawannya dan berlangsung selama dua hari 24-25 November 1945.
Dari kongres tersebut melahirkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Sejak saat itu PGRI lahir sebagai wadah perjuangan kaum guru untuk turut serta menegakkan dan mempertahankan serta mengisi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka.
Dari sejarah Hari Guru Nasional yang sudah dilalui oleh Persatuan Guru Republik Indonesia, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI pada tanggal 25 November yang ditandai sebagai Hari Guru Nasional.
Hari Guru Nasional: Fokus pada Santri Tuna Rungu, Pesantren Abata Tumanggung Cetak 49 Calon Hafidz
Pesantren hafidz Qur’an Abata yang berlokasi di Manding, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, saat ini telah memiliki 43 santri putri dan enam santri putra berkebutuhan khusus.
Menurut pengasuh Yayasan Abata Indonesia, Mukhlisin Nuryanta, pesantren yang berdiri sejak 2016 ini memang fokus pada anak-anak tuna rungu yang berasal dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga yang terjauh Tenggarong, Kalimantan Timur.
Berawal dari tiga santri di awal berdirinya lembaga tersebut, saat ini Abata telah menampung total 49 santri dari 224 pendaftar karena keterbatasan daya tampung.
“Sejak dirintis dari rumah kontrakan beberapa tahun yang lalu, respon masyarakat sangat positif terhadap keberadaan pesantren Abata ini. Terbukti banyak orang tua yang memiliki anak tuna rungu menitipkan kepada kami. Selain karena konsepnya adalah pendidikan gratis atau beasiswa, kurikulum kami memadukan antara kurikulum pesantren dengan kurikulum pendidikan anak tuna rungu yang bermutu dan progesif,” tuturnya saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Dijelaskan Ustad Lisin, panggilan akrab Mukhlisin, awalnya Abata ia dirikan karena merasa kesulitan untuk mendapatkan pendidikan bagi putri sulungnya yang mengalami tuna rungu sejak usia tiga tahun. Sebelum akhirnya menjadi pesantren, Abata dulunya adalah sanggar belajar wicara untuk anak tuna rungu dengan nama Rumah Abata.
“Saat ini kami menerapkan terapi dengan metode lips reading atau visual phoenik yang merupakan pembelajaran materi secara visual penglihatan. Santri-santri kami diharapkan bisa berkomunikasi secara verbal, dan setiap hari mereka melakukan terapi wicara dari guru-guru yang telah bersertifikat,” ujarnya.
Fokus konten pembelajarannya lebih mengarah kepada akhlak, ibadah, penghafalan Al Qur’an (tahfidz), komunikasi lisan dan isyarat, pengembangan bakat dan minat, serta kewirausahaan.
“Kami belum melihat anak-anak tuna rungu bisa memiliki akses pendidikan bermutu, termasuk akses pendidikan Al Qur’an. Perubahan dari sanggar menjadi pesantren karena kami menilai anak tuna rungu juga butuh ilmu tentang ibadah yang benar serta berlatih konsisten melaksanakan jadwal ibadah mereka masing-masing,” tegasnya.
Saat ini, untuk memenuhi kebutuhan pangan santri, pesantren Abata membutuhkan sedikitnya 74 kilogram daging ayam per bulan, 150 kilogram sayuran, 330 kilogram buah-buahan, serta 74 kilogram telur.
“Kurang lebih kami butuh dana untuk kebutuhan makan 49 santri adalah sekitar tujuh juta rupiah per bulan. Tentunya ini belum termasuk kebutuhan operasional untuk menggaji guru serta lainnya.”
Ustad Lisin pun bersyukur selama ini pesantren asuhannya tersebut banyak yang membantu meskipun pihaknya tidak pernah memasang iklan.
“Dari mulut ke mulutlah Abata dikenal luas masyarakat. Kami saja sampai kewalahan menerima siswa baru sehingga harus melalui proses seleksi. Mungkin disebabkan karena Abata merupakan sedikit dari lembaga pendirikan berbasis keagamaan yang fokus pada pengasuhan anak tuna rungu. Kami berharap, santri-santri kami ini kelak punya masa depan yang cerah sebagaimana anak-anak normal lainnya. Mereka adalah aset bangsa yang sangat berharga,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News