Filosofi ‘Bibit, Bebet, Bobot’ atau 3B masih menjadi tiga kriteria yang turun temurun dipergunakan keluarga dalam menentukan calon pasangan hidup yang terbaik bagi anak mereka.
Womanindonesia.co.id – Pemahaman lama mengenai filosofi ini tidak jarang mengakibatkan banyak pasangan, utamanya mereka yang menjalin hubungan yang unconventional karena perbedaan mencolok seperti beda usia, latar belakang ekonomi, atau suku dan ras terpaksa menyudahi hubungan karena merasa tidak mampu memenuhi harapan dari keluarga maupun lingkungan.
Studi kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan Closeup melibatkan lebih dari 160 responden dari berbagai wilayah Indonesia terdiri dari mereka yang sedang menjalani hubungan unconventional, orangtua, hingga individu yang masih single memperlihatkan bahwa penilaian dari lingkungan masih menghambat kelanjutan hubungan yang unconventional, sehingga lima dari 10 orang yang menjalani hubungan tersebut jadi meragukan masa depan hubungannya.
Terkait filosofi 3B, ditemukan bahwa di semua kelompok responden hampir seluruhnya setuju bahwa pedoman ini pada dasarnya masih baik untuk diterapkan. Namun, hanya dua dari 10 orang merasa bahwa definisi 3B yang sekarang berlaku masih relevan.
Makna Bibit, Bebet, Bobot
Akhirnya, studi ini menunjukkan bahwa lima dari 10 orang menginginkan makna yang lebih fresh dari filosofi 3B, yang terangkum sebagai:
Bibit: Memastikan asal-usul seseorang bukanlah untuk memvalidasi stereotype mengenai suku/ras tertentu, melainkan meyakinkan bahwa ia memiliki lingkungan atau support system yang mendorongnya untuk bertumbuh.
Bebet: Latar belakang ekonomi keluarga bukan jaminan masa depan yang cerah, melainkan kemampuan seseorang untuk memaksimalkan potensi diri.
Bobot: Latar belakang pendidikan dan keahlian tidak cukup, harus dipertajam dengan visi dan tujuan yang sama dengan pasangan.
Psikolog Klinis dan Peneliti Relasi Interpersonal Pingkan Rumondor, M.Psi menanggapi, pemaknaan Bibit, Bebet, Bobot sebagai asal usul, latar belakang ekonomi keluarga, serta pendidikan dan keahlian calon pasangan sesuai dengan tujuan pernikahan di jaman dulu, yaitu untuk mengamankan harta, tanah, dan kedudukan.
Ketika itu, cinta tidak termasuk dalam kriteria yang dianggap penting, dan kehidupan seseorang bergantung pada status yang dibawa sejak lahir, bukan diperoleh dengan kerja keras dan keterampilan.
Hal ini berevolusi seiring perubahan jaman. Kaum dewasa muda kini punya kesempatan untuk menyampaikan perspektif tentang pasangan pilihan, sehingga diperlukan penyelerasan pandangan antara pasangan, keluarga dan masyarakat.
“Bagaimanapun, pandangan masyarakat memang menjadi penting karena turut membentuk pendapat pasangan dan keluarga mengenai pemilihan pasangan hidup,” kata Pingkan dalam konferensi pers kampanye #SpeakUpforLove di Jakarta, Rabu (10/8).
Berangkat dari hasil studi yang dilakukan Closeup, kampanye ini mengangkat pentingnya memberikan makna yang lebih fresh pada filosofi “Bibit, Bebet, Bobot” melalui serangkaian platform dan aktivitas yang menginspirasi pasangan muda untuk lebih percaya diri menyuarakan isi hati dalam memilih dan menjalani hubungan mereka.
Melihat hal ini, Closeup melakukan studi yang memperlihatkan bahwa kriteria generasi muda dalam memilih pasangan telah mengalami pergeseran. Mereka lebih mendambakan chemistry secara interpersonal, pemikiran yang luas, dan visi yang sejalan.
“Usia yang sepantar, latar belakang ekonomi, dan persamaan suku atau ras kini kurang diprioritaskan. Untuk itu, melalui kampanye #SpeakUpforLove Closeup ingin mengangkat makna lebih fresh dari filosofi 3B, yang sesungguhnya dapat bertransformasi menjadi ‘Berbeda Bertumbuh Bersama’,” kata Distya Tarworo Endri selaku Head of Marketing Oral Care Category, PT Unilever Indonesia, Tbk.
Pasangan selebriti Muhammad Fardhan dan Mikaila Patritz ikut berbagi, selain usia yang terpaut cukup jauh, mereka juga berasal dari ras dan suku yang berbeda. Selama pacaran, hal ini menimbulkan pertanyaan atau keraguan dari keluarga dan orang-orang terdekat.
Awalnya memang ‘gerah’, tapi karena sering berdiskusi tentang ekspektasi dalam hidup dan pembagian peran antara suami istri, akhirnya kami merasa semakin cocok dan mantap melanjutkan hubungan.
“Alhamdulillah, kami berhasil meyakinkan semua orang, terutama orang tua, bahwa kami memiliki satu tujuan serta siap untuk saling melengkapi dan tumbuh bersama,” ujar mereka.
Pengalaman ini sejalan dengan studi Closeup yang menunjukkan bahwa saat menilai pasangan anak, orang tua akhirnya menginginkan yang terbaik bagi anak dan terbuka untuk berkompromi. Artinya, komunikasi dan keterbukaan antara orang tua dan anak dalam memilih pasangan adalah hal yang amat penting.
Pesan-pesan positif seperti inilah yang akan disebarluaskan melalui kampanye #SpeakUpforLove. Sebagai langkah awal, Closeup telah merilis tayangan web series di Tiktok dan Instagram @CloseupID tentang tantangan yang dihadapi tiga pasangan muda dalam menjalani hubungan unconventional. Ditonton oleh lebih dari 50.000 orang, web series ini telah mendapatkan animo yang sangat positif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News