Womanindonesia.co.id – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengumumkan bahwa beberapa wilayah Indonesia berpotensi mengalami hujan lebat pada 1 dan 2 Mei. Berbaris.
Seperti dikutip Antara, hujan ringan secara umum diperkirakan terjadi di wilayah Sumatera, dengan kemungkinan hujan sedang terjadi di Bangka-Belitung dan Sumatera Utara.
Sedangkan potensi hujan lebat berpotensi terjadi di Lampung, Bengkulu, Sumsel, Jambi, Sumbar, Riau, Kepulauan Riau, dan Aceh. Hujan umumnya diperkirakan terjadi di wilayah Jawa.
Ada kemungkinan hujan sedang di Banten. Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat berpeluang hujan lebat dan Bali, NTB, dan NTT berpeluang hujan ringan hingga lebat.
Wilayah Kalimantan secara umum diprakirakan cerah berawan dengan kemungkinan hujan lebat di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
Sulawesi sebagian besar cerah dan berawan. Namun, ada kemungkinan hujan lebat terjadi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah. Ada kemungkinan hujan ringan atau lebat di wilayah Maluku dan Papua.
BMKG juga melaporkan bahwa di beberapa wilayah yang terdampak hujan, kecepatan angin mencapai 20-30 km/jam dari arah barat.
Apa fenomena hujan?
Erma Yulihastin, ilmuwan iklim di Pusat Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pusat Riset Iklim dan Atmosfer mengungkapkan dua faktor utama yang menyebabkan hujan terus berlanjut di RI pada awal Maret. Yakni Cross Equatorial Northly Surge (CENS) dan Borneo Vortex atau badai.
“Mengapa hujan lebat dan angin kencang yang terus-menerus melanda sebagian besar Indonesia saat ini? Saya fokus menjelaskan penyebab fenomena utama pada skala meso dengan radius 2 hingga 200 km,” cuitnya.
Menurutnya, saat ini ada dua fenomena utama di Laut China Selatan. Pertama, CENS, peningkatan angin utara rata-rata lebih dari 5 meter/detik di bagian selatan Laut Cina Selatan dekat Laut Jawa. Berdasarkan pantauan, indeks CENS aktif sejak 21 Februari hingga saat ini.
“Angin utara yang kuat ini telah memperkuat angin musim menjadi 2-3 kali lipat dari sebelumnya, yang berkontribusi pada angin kencang yang ada saat ini,” katanya.
Kedua, pilin Borneo. Pusaran adalah pusaran angin dengan radius putar pada skala meso antara puluhan dan ratusan kilometer.
“Saat ini, Borneo Gyre mulai terbentuk di dekat khatulistiwa di atas Laut Cina Selatan.”
Erma menjelaskan bahwa kedua faktor tersebut terus-menerus berinteraksi di tempat yang sama hingga tumbuh dewasa.
“Ketika CENS, atau cold front, terus menerus berkembang dan berinteraksi dengan Borneo Gyre yang terus menerus berputar di tempat yang sama, menguat dan tumbuh selama 72 jam atau empat hari, maka terbentuklah siklon tropis,” jelasnya.
Dia merujuk pada Chang et al. Dari Department of Meteorology, Naval Postgraduate School, Monterey, California, USA (2003) tentang terbentuknya Topan (siklon tropis) Vamei di ekuator dekat Singapura-Batam pada tanggal 27 Desember 2001.
Ia berkata: “Peristiwa ini sangat langka, sehingga kemungkinan akan terjadi lagi sekitar 100 sampai 400 tahun. Karena belum tentu semua syarat terpenuhi.”
Erma mengungkapkan bahwa Topan Vamei lahir 12 tahun lalu. Saat ini ada dua fenomena yang merupakan kondisi siklon tropis.
“Dampak langsungnya tentu saja jatuh pada daerah yang masih dalam pusaran, yaitu: Singapura, Batam, Pangkal Pinang, Babilonia, Kalimantan Barat.”
“Efek tidak langsungnya akan menimbulkan angin kencang di Indonesia bagian barat dan menciptakan zona konvergensi yang luas di daratan (Jawa, Sumatera) sehingga hujan turun terus menerus dengan intensitas tinggi,” lanjutnya.
Para ahli di masa lalu telah sepakat bahwa peristiwa cuaca ekstrem beberapa tahun terakhir terkait dengan perubahan iklim, yang terutama dipicu oleh degradasi lingkungan.
Didi Satiadi, asisten peneliti di Pusat Penelitian Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), juga membandingkan situasi ini dengan sepeda motor yang lebih kencang.
“Jadi mesin cuaca itu berasal dari matahari, dari sistem pemanas. Jika pemanasan dari gas rumah kaca meningkat, maka siklus air yang dulunya seperti rantai akan berjalan lebih cepat,” ujarnya dalam bincang ilmiah virtual bertajuk “Peringatan Cuaca Ekstrim” pada Rabu (28/12/2022). .
“Karena putarannya lebih cepat, artinya penguapan lebih cepat, lebih deras, hujan lebih deras, jadi lebih basah dan lebih kering,” tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News