WomanIndonesia.co.id – Hampir setiap hari kita dijejali dengan berbagai informasi yang mengarus lewat internet. Sejajar dengan itu, hidup kita seolah terperangkap dalam ruang imut yang maya bernama smartphone.
Arus informasi, game, medsos, berbagai aplikasi dan keriuhan di dalamnya, tentunya sangat menyenangkan bagi anak-anak namun berakibat buruk dari kegilaan sampai kematian.
Berapa waktu yang lalu kita juga di kejutkan oleh berita mengenai semakin banyaknya anak-anak yang kecanduan gadget dan akhirnya di rawat di beberapa Rumah Sakit jiwa. Banyaknya pasien anak-anak yang kecanduan handphone tersebut akibat banyak faktor. Diantaranya gaya hidup anak zaman sekarang yang mudah mengakses hal negatif di handphone secara berlebihan.
Hal ini membuat kekhawatiran Pemerhati anak dan Ketua Rumah Amalia Muhammad Agus Syafii.Agus menyadari bahwa gaya hidup seorang anak yang tidak dapat lepas dari handphone dapat menimbulkan efek yang sangat buruk terutama tumbuh kembang anak.
Orangtua mempunyai peranan penting dalam menjaga anak-anaknya agar tidak kecanduan pada gawai. Kebanyakan dari orangtua yang terlalu sibuk dan membiarkan anaknya bermain gadget untuk jangka waktu yang cukup lama. Sedangkan yang dibutuhkan oleh anak adalah bermain.
Di saat anak anak inigin bermain namun tidak adanya alat untuk bermain maka gadget lah yang mereka jadikan sebagai alat bermain.
“Persoalan ini kita anggap serius, yang pertama adalah yang dipegang oleh anak-anak itu sudah bukan lagi alat yang kita bayangkan sebuah ruang yang imut yang bermanfaat bagi anak-anak, kenapa? gadget itu sudah media untuk melakukan brainwash,” kata Agus.
Anak yang memakai gadget sudah masuk celah-celah pada media sosial kemudian game dan aplikasi lainnya yang bertujuan untuk mencuci otak anak kita. Hal itu kelak akan menghancurkan rasa nasionalisme akan menghancurkan sendi-sendi bernegara.
“Sekarang ini kita bisa bayangkan kalau anak-anak sedang main gadget mau main game lewat hp sebagai seorang player itu dia berkomunikasi dengan orang yang tidak dikenal. Anak ini kemudian dikontrol oleh orang-orang yang tidak dikenal untuk melakukan suatu tindakan,” tutur Agus.
Hal ini harus disikap serius pemerintah oleh pemerintah. Agus berharap pemerintah tidak hanya sekedar mendorong terhadap pertumbuhan Unicorn, pertumbuhan industri teknologi informasi atau startup yang sedang berkembang pesat tapi mengabaikan dampak efek shock culture yang akan terjadi kepada anak-anak.
Agus menambahkan bahwa banyak yang masih bisa di lakukan untuk meghindari anak kecanduan pada gadget Salah satunya adalah Program Detox.
Program Detox Gadget di Rumah Amalia mengajak anak-anak untuk melakukan aktifitas menghentikan pemakaian teknologi sejenak dan kembali ke kehidupan nyata, seolah teknologi belum diciptakan.
“Detoks gadget dilakukan pada anak yang kehilangan fokus dan konsentrasi akibat kecanduan atau adiksi gadget. Di Rumah Amaliah anak-anak diajak kembali seperti sebelum mengenal gadget. Anak yang belum pernah mengenal gadget memiliki hidup yang lebih sehat baik secara jasmani juga mental,” jelas Agus.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mengenal gadget akan lebih suka berdiskusi kelompok, bermain dengan teman-temannya dan bersosialisasi.
Sedangkan anak yang sudah terpapar gadget akan memiliki kecenderungan merasa dewasa, misalnya seorang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sudah berpacaran.
“Alhamdulillah anak-anak yang telah mencobanya dan mengaku mengalami banyak perubahan dalam hidupnya dengan melakukan detox gadget ini yakni anak-anak lebih fokus belajar, menyebabkan hidup anak menjadi lebih bahagia, mental lebih sehat, daya ingat anak meningkat, membuat anak tidur nyenyak, anak lebih aktif berpikir dan berdiskusi. Dan hal yang utama dengan detox gadget anak lebih menemukan makna hidupnya,” jelas Agus.
Kecemasan terhadap anak yang mengalami kegilaan akibat gadget indikatornya adalah:
1. Implusif. Contohnya, ketika anak tersebut meng-update di sosial media Instagram (IG) kemudian tidak ada yang memberikan komentat atau suka pada postingannya ia akan marah, dan melampiaskan kemarahannya kepada keluarganya.
2. Merasa Hampa. Contohnya seorang anak meng-update status bahwa dirinya kesepian, padahal ia mempunyai keluarga yang lengkap. Perasaan hampa ini muncul lantaran teman ‘dunia mayanya’ tidak komentar dan memberikan jempol pada statusnya.
3. Mengunduh Banyak Aplikasi di Handphone. Untuk mengecek kegiatan anak, cobalah melihat seberapa banyak aplikasi yang dia unduh (download) di smartphone-nya. Jika banyak atau lebih dari 10 aplikasi maka orangtua harus siap-siap. Ini akan menimbulkan gejala kegilaan pada anak. Mengapa demikian? bayangkan saja, jika hanya satu aplikasi kita mendapatkan satu notifikasi setiap menit, bagaimana jika 10 atau lebih aplikasi yang ada di hand phone.
Metode detoks gadget:
1. Cognitive behavioral therapy (CBT) adalah perawatan psikoterapi jangka pendek yang berorientasi pada tujuan yang mengambil pendekatan praktis untuk menyelesaikan masalah.
Tujuannya adalah untuk mengubah pola berpikir atau perilaku yang ada di balik kesulitan orang, dan karenanya mengubah cara mereka merasakan. Ini digunakan untuk membantu mengobati berbagai masalah dalam kehidupan seseorang, dari kesulitan tidur atau masalah hubungan, hingga penyalahgunaan narkoba dan alkohol atau kecemasan dan depresi.
CBT ini juga digunakan untuk mengatasi anak-anak yang mengalami adiksi gadget atau disebut detox gadget.
Terapi perilaku kognitif dapat dianggap sebagai kombinasi psikoterapi dan terapi perilaku. Psikoterapi menekankan pentingnya makna pribadi yang kita tempatkan pada berbagai hal dan bagaimana pola berpikir dimulai di masa kanak-kanak. Terapi perilaku memperhatikan hubungan antara masalah kita, perilaku kita dan pikiran kita.
Di Rumah Amalia penterapan CBT ini pertama anak diajak untuk melepas gadget. Anak yang tadinya ketika bangun pagi mencari gadget diganti dengan buku. Kedua, 1 jam sebelum tidur anak-anak harus mematikan gandet. Mereka diarahkan untuk membaca buku atau melakukan kegiatan lain.
Selain CBT, Detox Gadget juga dilakukan positive self talk. Anak diajarkan pemilihan diksi atau ucapan positif. Anak-anak yang tadinya mengatakan “Aku tidak bisa hidup tanpa gadget” kita ajarkan mereka untuk mengatakan “Aku sehat, aku cerdas, aku ceria tanpa gadget”.
“Kita menumbuhkan percaya diri anak tanpa gadget. Dan bukan cuman anak yang kita tetapi tapi orangtuanya juga harus berperan aktif, karena kan ada kontrak belajar, ” kata Agus.
Ia berharap pemerintah mengeluarkan peraturan satu hari tanpa internet satu kali setiap minggu.
“Setidaknya satu hari dalam seminggu tidak ada internet agar bisa quality time bersama keluarga,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News