Womanindonesia.co.id – Pelecehan seksual kerap kali dialami oleh kaum perempuan, namun beberapa diantaranya yang menjadi korban memilih untuk diam ketika mengalami pelecehan seksual. Bahkan, meskipun telah melaporkan kepada kepolisian, berujung perdamaian.
Dilansir dari ijrs.or.id berdasarkan satu studi tahun 2020 dari Indonesian Judicial Research Society (IJRS) dengan sampel 1.586 responden yang terlibat kasus kekerasan seksual, sebanyak 57% kasus tidak mendapat penyelesaian. Banyak korban pelecehan seksual lainnya juga berujung dinikahkan dengan pelaku atau diminta “berdamai”.
Kita juga ingat perjuangan “Agni” di Universitas Gadjah Mada (UGM), Baiq Nuril di Lombok, dan seorang ibu di Sulawesi Selatan yang ketiga anaknya diperkosa. Para korban pelecehan seksual ini justru disalahkan, dihukum atas “penyebaran muatan asusila”, atau dianggap mengalami gangguan kejiwaan.
Belum lama ini, terduga korban pelecehan seksual oleh presenter dan penyiar radio Gofar Hilman, juga berujung minta maaf dan menarik laporan atas dugaan kasus yang menimpanya.
Meski belum ada bukti jelas bahwa korban tersebut ditekan, beberapa akademisi menjelaskan bagaimana aparat di Indonesia secara umum lebih banyak berpihak pada pelaku ketimbang korban kekerasan seksual.
Aparat dan pelaku pelecehan seksual kerap menyalahkan dan meneror korban pelecehan seksual, sehingga banyak korban berujung meminta maaf, menarik laporannya, atau bahkan dikriminalisasi balik.
Taktik Andalan Pelaku Pelecehan Seksual dan Aparat
Dalam salah satu episode podcast SuarAkademia, peneliti IJRS, Bestha Ashila mengungkapkan adanya pola dari pelaku kekerasan seksual dan aparat penegak hukum ketika korban melaporkan suatu kasus.
“Biasanya ada taktiknya, kita kenal namanya ‘DARVO’: deny, attack, lalu reverse victim and offender,” katanya.
“Istilahnya pertama pasti menyangkal, ‘enggak saya nggak melakukan’. Kemudian menyerang balik korban, dan juga membalikkan kasus tersebut, dilaporkan balik. Konsepnya mirip gaslighting (menyerang dan mempertanyakan kredibilitas).”
Bestha mencontohkan wujud nyata pola DARVO pada kasus dugaan kekerasan seksual yang terjadi di Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK) pada 2018 silam.
Kala itu, korban bercerita ke media bahwa ia dilecehkan berkali-kali dan juga diperkosa sebanyak empat kali oleh bosnya yang bernama Syafri Baharuddin selama kurun waktu 2016-2018.
“Kasus itu sudah dilaporkan ke kepolisian, dan tim internal kantor bertindak bikin tim panel untuk memeriksa pelaku,” kata Bestha.
“Korban juga mengajukan gugatan hukum [..] tapi justru dilaporkan balik sama bosnya dengan alasan penyebaran berita bohong sampai berdampak ke korban yang dirawat di rumah sakit jiwa.”
“Akhirnya penyelesaiannya dengan mediasi antara korban dan pelaku. Pelaku akhirnya mencabut laporan terhadap korban, dan korban bikin pernyataan bahwa ia tidak pernah mengalami perkosaan,” tuturnya.
Studi psikologi dari Sarah Harsey di University of California Santa Cruz di Amerika Serikat (AS) yang melakukan eksperimen dengan lebih dari 300 mahasiswa pada 2020 menemukan bahwa taktik DARVO mengubah pandangan partisipan terhadap korban kekerasan seksual. Mereka menjadi lebih skeptis dan cenderung menyalahkan korban.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News