Kekerasan terhadap anak seperti mata rantai yang tak bisa putus. Setiap menit bahkan detik kasus kekerasan terjadi pada anak-anak di seluruh dunia.
Womanindonesia.co.id – Belakangan ini kasus kekerasan terhadap anak semakin hangat diperbincangkan. Setiap hari ada saja berita kasus kekerasan yang terjadi pada anak. Baik itu kekerasan fisik juga kekerasan seksual. Bahkan, banyak yang belum mengetahui secara jelas bentuk atau tipe kekerasan terhadap anak.
Prevalensi Kekerasan Terhadap Anak
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) telah merilis Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021. Data menunjukkan adanya penurunan prevalensi kekerasan terhadap anak, dibandingkan hasil SNPHAR pada 2018. Meskipun baik anak laki-laki dan perempuan mengalami penurunan prevalensi, namun kekerasan masih lebih banyak dialami anak perempuan.
Berdasarkan hasil SNPHAR pada 2021, tercatat sebanyak 34 persen atau 3 dari 10 anak laki-laki dan 41,05 persen atau 4 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya. Sementara pada 2018, tercatat 62,31 persen atau 6 dari 10 anak laki-laki dan 62,75 persen atau 6 dari 10 anak perempuan mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya.
Menteri KemenPPPA Bintang Puspayoga menuturkan meskipun data menunjukan adanya penurunan prevalensi kekerasan terhadap anak, namun angka tersebut masih memprihatinkan. Bintang mengatakan, kita tidak boleh berpuas hati dan berhenti di sini. Perjalanan kita masih panjang. Seharusnya, tidak boleh ada satu pun anak yang mengalami kekerasan, apapun alasannya.
Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
Dilansir dari wikipedia, secara global berikut dijelaskan bentuk atau tipe kekerasan terhadap anak yang tidak semua orang tahu.
1. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah agresi fisik diarahkan pada seorang anak oleh orang dewasa. Hal ini dapat melibatkan meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, membakar, membuat memar, menarik telinga atau rambut, menusuk, membuat tersedak atau menguncang seorang anak.
Guncangan terhadap seorang anak dapat menyebabkan sindrom guncangan bayi yang dapat mengakibatkan tekanan intrakranial, pembengkakan otak, cedera difus aksonal, dan kekurangan oksigen yang mengarah ke pola seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, pembengkakan atau penegangan ubun-ubun, perubahan pada pernapasan, dan pupil melebar.
Transmisi racun pada anak melalui ibunya (seperti dengan sindrom alkohol janin) juga dapat dianggap penganiayaan fisik dalam beberapa wilayah yurisdiksi. Sebagian besar negara dengan hukum kekerasan terhadap anak mempertimbangkan penderitaan dari luka fisik atau tindakan yang menempatkan anak dalam risiko yang jelas dari cedera serius atau kematian yang disengaja.
Di luar ini, ada cukup banyak variasi. Perbedaan antara disiplin anak dan tindak kekerasan sering kurang didefinisikan. Budaya norma tentang apa yang merupakan tindak kekerasan sangat bervariasi. Kalangan profesional serta masyarakat yang lebih luas tidak setuju pada apa yang disebut merupakan perilaku kekerasan.
Beberapa profesional yang bertugas di bidang manusia mengklaim bahwa norma-norma budaya yang berhubungan dengan sanksi hukuman fisik adalah salah satu penyebab kekerasan terhadap anak dan mereka telah melakukan kampanye untuk mendefinisikan kembali norma-norma tersebut.
Penggunaan tindak kekerasan apapun terhadap anak-anak sebagai tindakan disiplin adalah ilegal di 24 negara di seluruh dunia, akan tetapi lazim dan diterima secara sosial di banyak negara lainnya.
2. Kekerasan Seksual
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak di mana orang dewasa atau pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang lebih tua terhadap seorang anak untuk mendapatkan stimulasi seksual.
Bentuk pelecehan seksual anak termasuk meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual (terlepas dari hasilnya), paparan senonoh dari alat kelamin kepada anak, menampilkan pornografi kepada anak, kontak seksual yang sebenarnya terhadap anak, kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi anak.
Pengaruh pelecehan seksual anak termasuk rasa bersalah dan menyalahkan diri, kenangan buruk, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan pelecehan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, melukai diri sendiri, keinginan bunuh diri, keluhan somatik, depresi, gangguan stres pasca trauma, kecemasan, penyakit mental lainnya (termasuk gangguan kepribadian) dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk mengulangi tindakan kekerasan setelah dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik pada anak di antara masalah-masalah lainnya.
Sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria yang mengalami pelecehan seksual ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual adalah orang yang kenal dengan korban mereka; sekitar 30% adalah keluarga dari anak, paling sering adalah saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan teman lain seperti keluarga, pengasuh anak, atau tetangga; orang asing adalah yang melakukan pelanggar hanya sekitar 10% dari kasus pelecehan seksual anak.
3. Kekerasan Psikologis
Dari semua kemungkinan bentuk pelecehan, pelecehan emosional adalah yang paling sulit untuk didefinisikan. Itu bisa termasuk nama panggilan, ejekan, degradasi, perusakan harta benda, penyiksaan atau perusakan terhadap hewan peliharaan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas atau berlebihan, pemutusan komunikasi, dan pelabelan sehari-hari atau penghinaan.
Korban kekerasan emosional dapat bereaksi dengan menjauhkan diri dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina kembali pelaku penghinaan. Kekerasan emosional dapat mengakibatkan gangguan kasih sayang yang abnormal atau terganggu, kecenderungan korban menyalahkan diri sendiri (menyalahkan diri sendiri) untuk pelecehan tersebut, belajar untuk tak berdaya, dan terlalu bersikap pasif.
4. Penelantara
Penelantaran anak adalah di mana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian, atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), atau medis (kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).
Hasil SNPHAR, kata Bintang, sangatlah penting dalam membantu dan memahami skala permasalahan kekerasan terhadap anak, sekaligus dapat menjadi dasar dalam pengembangan kebijakan/program pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.
“Survei ini bahkan merupakan satu-satunya sumber data statistik kekerasan terhadap anak yang menghasilkan estimasi prevalensi kekerasan di tingkat nasional (Population-based survey), dimana data untuk anak yang tersedia sebelumnya dirilis pada 2018,” ujar Bintang.
Menteri Bintang menambahkan kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan isu sensitif yang datanya sulit diperoleh, salah satunya berkaitan dengan stigma negatif terhadap penyintas, maka penelitian ini juga dilakukan dengan sensitivitas terhadap penyintas.
“Di tingkat global, hasil dari SNPHAR juga sangat penting dalam pengukuran dan pelaporan berbagai capaian indikator dari tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang terkait dengan kekerasan terhadap anak,” jelas Bintang
Salah satu tolak ukur dalam mencapai prioritas nasional ‘peningkatan SDM yang berkualitas dan berdaya saing’ dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah menurunnya prevalensi nasional kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sementara itu, salah satu dari lima arahan prioritas Presiden RI Joko Widodo kepada KemenPPPA hingga 2024 adalah ‘penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak.’ Untuk mencapai hal tersebut, KemenPPPA menyelenggarakan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR), yang telah menghasilkan estimasi prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak pada level nasional dan perkotaan/perdesaan.
“Penurunan prevalensi kekerasan terhadap anak pada 2021 ini, tentu merupakan buah dari berbagai upaya pencegahan dan penanganan yang dilakukan bersama-sama lintas sektor. Untuk itu, saya menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh pihak, mulai dari level terkecil yaitu keluarga, masyarakat secara umum, pemerintah pusat, hingga pemerintah desa, para akademisi dan profesional, dunia usaha, serta media massa atas kerja keras bersama dalam kurun waktu 5 tahun ini,” terang Menteri Bintang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News